Rintik ke-22

8 5 0
                                    


Pagi sebelum Didit dan Putra pergi ke pagelaran menjadi pagi yang cukup menegangkan. Kecuali untuk Guto, tukang kebun yang sudah puluhan tahun menemani taman luas milik keluarga Didit. Raganya yang sedang lelah terduduk di dekat krokot. Punggungnya yang mulai bungkuk bersandar pada tembok yang kemarin baru dicat ulang. Mata rentanya menerawang taman yang dia rawat puluhan tahun. Senyumnya merekah.

Taman ini sudah sejak 1985 dibuat. Polanya sangat unik. Halaman depan dibuat sejajar mengikuti tembok keliling yang lumayan tinggi. Ada pohon cemara berada di paling belakang dan puring mengisi sela-selanya. Terakhir, ada tetean yang tebal untuk mengisi tanah yang lumayan kosong. Krokot digantung di beberapa titik dan jenggeran ada dipojok bersama bunga kenop. Ada kelengkeng dan mangga yang dulu hanya biji kini sudah dipindah kebelakang. Jika kalian melihat dari atas menggunakan drone, maka akan terlihat tanaman yang seperti undak-undakan.

"Pak Guto sedang mengaso?" tanya Putra lalu berjalan ke arah Pak Guto.

"Mengaso sambil melihat karya buatan saya, Mas."

"Nyeni?"

"Filosofis. Haha, setelah saya sering ke perpustakaannya Mas Putra, saya jadi punya banyak kosakata baru," kata Guto tertawa kecil.

"Haha, memang filosofi apa yang ada di taman ini?"

"Saya cuma mau menyampaikan bahwa apa pun kasta kita, keindahan selalu menyertai kita semua."

"Oh, makanya dibikin undak-undakan? Gimana kalau taman ini ada yang meniru?"

"Ya bagus. Berarti ide saya tersampaikan. Toh apa ada hak paten buat bentuk taman?"

"Bagaimana jika filosofinya diambil orang?"

"Ya bagus. Bukankah itu berarti mereka paham bahwa semua sama indahnya?"

"Pak Guto jawabnya ya bagus terus, haha." Putra tertawa.

"Ngga ada hak paten untuk bentuk taman, Mas. Saya rasa saya jadi aneh kalau mempermasalahkan itu. Masa iya saya mengadakan sesuatu yang jelas-jelas tidak ada?"

Iya juga. Rasanya hak paten untuk bentuk taman itu tidak lazim, apalagi soal filosofi. Soal bagaimana kita mengartikan sesuatu, adakah hak paten untuk itu? Akan sesulit apa hidup kita jika kita terlalu banyak memberi label pada sesuatu? A milikku. B milikku. C milikku. Tanpa pandang bulu kadang kita memberikan label hak paten. Mengadakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada bukan hal yang salah, tapi akan jadi wagu dan nyusahi awake dhewek kalau berujung pada gelut sama diri sendiri.

Bukankah sudah saatnya kita saling sadar diri? Kamu yang sering copy-paste sudah saatnya mencoba create. Kamu yang ngga suka diikuti sudah saatnya berpikir ulang adakah hak paten untuk masalah yang kamu miliki? Atau sebenarnya ini hanya perasaan risih tak terbendung? Putra memikirkan ini semua di otaknya.

"Pak Guto tadi bilang kasta?"

"Nggih, Mas."

"Putra cuma mau bilang, jangan taruh manusia di kasta teratas. Nanti Pak Guto kecewa," kata Putra.

"Kenapa?"

"Mereka suka mematenkan sesuatu yang tidak penting, haha." Putra tertawa diikuti Pak Guto.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang