Tetes ke-2

2 1 0
                                    

Nakal


Pagi di Purwokerto sedikit lebih sejuk dibandingkan Jogja. Walaupun tidak sedingin Pakem, Putra masih enggan melepaskan erat tangannya dari selimut putih yang pagi ini membalutnya kasar. Suara ayam yang saling bersahutan sedikit membuatnya gusar. Hingga ketukan pintu kamar terdengar dan derit pintu menyapa gendang telinga, Putra bangun dan duduk di kasurnya.

Seorang perempuan tersenyum. Dialah Lastri Kartosuwirdjo, perempuan berumur empat puluh tahun yang memberikan tempat Putra bersembunyi. Kebaya kutu baru berwarna hitam itu memberikan kesan klasik pada perempuan ini. Sanggul rambut yang dibuat sederhana membuatnya lebih anggun. Ketika perempuan itu memberikan secangkir kopi, Putra langsung menerimanya lalu menganggukan kepala tanda terima kasih. Lastri hanya tersenyum dengan sedikit tawa keluar dari mulut bergincu merah tersebut.


"Ada yang bilang, tidak ada tempat yang lebih aman dibanding tempat yang sering dikunjungi polisi," kata Lastri sambil duduk di kursi dekat tembok.

"Tempat ini sering didatangi polisi?"

"Iya. Sebenarnya hampir setiap hari."

"Karena digeledah?"

"Haha, Mas Putra ini lugu atau bagaimana? Rumah bordi* ini sudah bertahan sepuluh tahun. Mas Putra kira kenapa? Karena kita punya polisi nakal," kata Lastri lagi lalu pergi dengan tawa yang masih didengar Putra.


Ah benar juga. Bagaimana Putra tidak bisa berpikir hingga ke sana? Putra menertawai dirinya sendiri. Kala dia melihat kopi yang kian mendingin, bayangan Jogja kembali datang ke otaknya. Kota yang menawarkan kehangatan dan ketentraman itu sudah dia tinggalkan. Ingin dia lupakan namun setiap hembus napasnya adalah rintik yang mengguyur Jogja. Putra tidak akan bisa melupakan kota itu.


Dia tidak rindu orang tuanya apalagi Ratna. Dia rindu Abah, pemilik angkringan dekat kelurahan. Putra juga rindu deru bentor yang lalu-lalang di Malioboro. Rindu hutan pinus yang sering dia jenguk hanya untuk melihat kucing alas yang barangkali menunjukkan ekornya. Dia juga rindu Merapi walaupun terkadang sajian alam ini membuat penduduknya kaget. Parangtritis juga tidak luput dari ingatannya dan yang terakhir adalah Prambananㅡsaksi pertama atas kasus pembunuhannya.


"Ketika akhirnya aku meninggalkan Jogja, aku pertaruhkan kebahagiaanku demi secuil nyawa. Tidak tahu apakah ini berarti aku akan menjadi pembunuh lagi atau tidak, yang jelas aku rindu Jogja dan sajian yang menyertainya," kata Putra dalan batinnya.


Pada akhirnya dia belum bisa menjadi versi terbaik dari dirinya. Jangankan menjadi kopi, menjadi dirinya sendiri saja Putra masih ragu. Identitasnya bahkan hanya Tuhan yang tahu. Dirinya masih bernegosiasi dengan alam tentang kehidupan. Siapa dia dan apa yang harus dilakukan? Itu pertanyaan yang kini datang padanya. Bukan soal bagaimana dia bertahan hidup, toh dia itu seorang Handhoko. Tidak mungkin kekurangan banda.


Di tengah peperangan yang terjadi di batin, telepon di tembok kamarnya berdering. Telepon gaya jadul yang biasa dia lihat di telepon umum ini digantung di kamarnya, seperti sengaja ditaruh agar hanya Putra yang mengangkatnya. Dengan degup jantung yang kian cepat, dia menerima panggilan itu.


"Halo?"

"Apakah kamu salah satu polisi nakal?" tanya perempuan dari seberang.

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang