Rintik ke-29

15 5 0
                                    


Didit segera membebaskan istrinya dari rantai dan membawanya segera ke mobil bersamaan dengan pasukan Guto yang bersiap pulang. Perempuan tua yang tadi mengguyurkan darah ke badan Rinda, masih berdiri tegak di pelataran, tidak jauh dari tiga badan yang terbujur kaku. Putra yang melihatnya tidak tega dan berniat ikut membawa pulang perempuan itu.

Putra berjalan ke pelataran dengan Ratna mengikuti di belakangnya. Mereka berjalan beriringan, namun niat Ratna berbeda. Perempuan yang belum genap delapan belas tahun ini mengeluarkan air mata yang tidak henti. Mengharubirukan ayahnya yang belasan tahun memberi tuntutan bahwa gadis ini harus menjadi dokter. Langkah Ratna berhenti beberapa langkah dari badan ayahnya. Putra sempat menengok ke belakang untuk melihat Ratna, namun dia akhirnya menitikkan atensinya pada perempuan tua di depannya.

"Mboten wangsul, Mbok?" (Ngga pulang, Mbok?)

"Ohalah, cah bagus. Aku ya jagani Prambanan." (Ohalah, anak bagus. Aku ya menjaga Prambanan)

"Sampun ndalu, Mbok." (Sudah malam, Mbok)

"Wis awan, cah. Saiki kowe, cah bagus. Panjalukanku mung siji, pateni awakmu dhewek. Titisane Bima kudu sekarat dhisik. Aja kuwatir, titisane Bima ora gampang mati." (Sudah siang, nak. Permintaanku hanya satu, bunuh dirimu sendiri. Jangan khawatir, titisannya Bima tidak akan mudah mati.)

Perempuan itu berbalik arah dan kembali ke Candi Siwa. Melangkahkan kaki rentanya perlahan menaiki undak-undakan. Sesungguhnya Putra tak tega, namun ada yang lebih harus dia pikirkan. Siapa titisannya Bima? Kenapa dia harus bunuh dirinya sendiri? Jika menurut perempuan tadi Putra tidak akan mudah mati, apakah itu berarti Putra adalah titisan Bima? Pertanyaan ini silih berganti menemani otak pikiran Putra, membuatnya melamun. Hingga suara isak tangis Ratna membuatnya menoleh ke belakang.

Dapat Putra lihat bagaimana Ratna mengusap air matanya sambil terisak. Putra tidak tahu harus berbuat apa. Ratna tahu bahwa yang memberi perintah eksekusi adalah Putra. Gadis ini tahu bahwa semua badan yang tergeletak kaku adalah orang yang mendapat peluru dari pasukan Guto dan atas perintah Putra. Ratna tahu, tapi tidak bisa disangkal bahwa kenyataan ini juga membuatnya lega.

"Pagelaran ini harus berhenti dan tidak ada cara lain kecuali membunuh dalangnya," kata Putra.

"Bagaimana dengan tamu undangan? Ratna juga tamu undangan. Kenapa Ratna ngga kenapa-kenapa?" tanya Ratna sambil menutup kepalanya dengan tangan karena hujan mulai turun.

"Karena kamu Bapak coret dari daftar tamu undangan dan tadi kamu ada digenggaman Handhoko. Guto tidak akan menembak orang digenggaman Handhoko," jelas Putra sambil berjalan keluar Prambanan diikuti Ratna di belakangnya.

"Termasuk Ratna? Padahal Ratna orang Wijaya Kusuma," kata Ratna.

Putra berbalik arah lalu menatap Ratna yang melambatkan laju jalannya, karena sedang merapikan kebaya yang masih terguyur hujan. Saat Ratna selesai dengan urusan kebaya, Ratna bingung dengan tatapan Putra. Setelah sekian detik mata mereka bertemu, dengan langkah hati-hati Putra mendekati Ratna yang baru saja menuruni anak tangga terakhir. Langkah kakinya berhenti ketika tangan kirinya memeluk pinggang Ratna dan tangan kanannya menekan tengkuk sang gadis mendekat ke arahnya.

Tepat ketika burung merpati meninggalkan Prambanan, Putra tanpa permisi mengambil ciuman pertama Ratna. Oh, jangan tanya bagaimana perasaan Ratna sekarang. Tubuhnya menggigil berkali-kali lipat, bukan saja karena hujan, tapi karena aksi tiba-tiba seorang Putra. Sejenak Ratna menyukainya, tapi di sisi lain dia berpikir apakah ini rasa bersalah seorang pembunuh? Otaknya berputar seiring keduanya saling mengecap rasa satu sama lain tanpa ada yang bertanya. Keduanya hanyut dalam sepi yang menyelimuti Prambanan malam ini. Keduanya tidak peduli dengan puluhan orang di belakang yang telah mati. Membiarkan bau anyir menyelimuti tiap lumatan di bibir.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang