Rintik Ke-1

133 20 2
                                    

"Putra ngga pengen punya pacar, ya?"

Obrolan kala petang dimulai dengan topik yang dihindari Putraㅡmasalah perempuan. Putra diam, bergeming dari layar laptopnya. Laki-laki yang sedang menyelesaikan tesisnya ini masih fokus pada lembar asesmen.

"Putra kalau ngga jawab Ibu masukin ke perut lagi mau?"

"DIH!"

Candaan lawas memang, tapi masih ampuh untuk menyita atensi Putra. Memberi kepuasan tersendiri pada Ibunya, sedangkan Putra hanya menghela nafas kasar. Bermaksud memberikan sinyal bahwa dia lelah.

"Putra mau fokus buat tesis dulu, Bu. Kalau buat masalah cewe nanti dulu, ya? Putra janji nanti pas Ibu ulang tahun, Putra bawain cewe di kotak gede buat hadiah, oke?"

"Itu janji kamu sejak SMA, lho. Tapi, ngga pernah Ibu liat ada perempuan yang mampir ke rumah selain pacarnya Dimas."

Pada angin bocah lanang itu merajuk. Meratapi kisah hidup yang enggan menjadi menyenangkan. Belum selesai pikiran tentang perempuan, dia harus berhadapan dengan Ayahnya yang dirundung kegelisahan.

Ayah Putra, Didit Handhoko, sedang menikmati cerutu tua. Menikmati malam yang kian temaram. Tidak peduli apa jurusannya, anak Handhoko harus menjadi guru minimal 5 tahun di sebuah sekolah. Tentu saja jika ini melanggar SOP yang berlaku, kaki tangan Handhoko Group telah siap siaga.

"Kenapa ngga Dimas dulu?"

"Kamu yang paling tua."

"Tapi, Yah ... Putra mau selesein tesis dulu."

Sang Ayah memincingkan matanya. Membuat anak pertama di keluarga ini diam. Mingkem. Mengatupkan mulutnya yang sia-sia juga untuk mencari pembelaan. Bayangan tentang TK hingga PAUD menghiasi neuron di otaknya. Bagaimana jika dia harus mengganti celana anak yang mengompol atau melerai anak perempuan yang sibuk jambak-jambakan karena boneka barbie? Keringat dingin bercucuran. Mana mau dia mengurus anak orang? Tapi, ternyata ....

"SMA?" Putra kaget. Seakan-akan keringat dingin berhenti di pelipisnya.

Putra mengerutkan dahi ketika Ayahnya menyerahkan sebuah map berisi informasi sekolah. Kelegaan menyelimuti hatinya. Satu per satu kertas ia baca dengan teliti. Entah mengapa sepertinya tugas ini terlalu mudah. Berbeda dengan tugas yang diberi keluarga Pamannya.

Ayahnya menempatkan Putra di sekolah dengan anak yang pemikirannya sudah berkembang banyak. Bahkan subjek dia mengajar tidak terlalu jauh dari jurusannya.

"Apa rencana ayah? Ini terlalu gampang."

"Gampang? Mengukur integritas seseorang lewat kebebasan dan kemudahan, itu ngga gampang."

"Integritas? Maksudnya?"

"Bagi ayah, bukan peraturan ketat yang menunjukan nilai manusia yang sesungguhnya. Tapi, kebebasan dan kemudahan. Ayah mau tau, bagaimana nilaimu ketika Ayah memberikan kemudahan seperti itu."

"Hah ... sial," umpat Putra pada benaknya sendiri.

Semangat keluarga Handhoko yang satu ini sepertinya sedikit aneh, menilai anaknya lewat kemudahan yang diberikan. Meski begitu, Putra memaklumi apa yang dilakukan Ayahnya. Memaklumi pola pria paruh baya itu.

Menjadi pemegang posisi terbesar di Handhoko Group pasti membuat Ayahnya stres. Penyaluran rasa cemas seperti ini bagi Putra adalah katarsis di luar imajinasi manusia. Ketika orang lain memukul, menghakimi secara verbal hingga melakukan pengabaian dari aspek fisik hingga psikis, Ayahnya malah memberikan sebuah pelajaran hidup untuk menjadi guru.

"Ini tidak akan sulit, kan?" Putra menimbang-nimbang.

Putra tidak paham bahwa apa yang lebih berbahaya dari perasaan manusia? Apa yang lebih tidak terkendali dari takdir? Selama 3,5 tahun ia bergulat dengan buku dan jurnal. Bahkan publikasi yang membuatnya jadi anak yang mampu diandalkan. Tapi, rasa miliknya tak mampu menyentuh dasar kehidupan. Hanya sebagian kecil permukaan. Padahal, apa yang lebih menawan dari senyum gadis SMA?


Mingkem : gerakan mengatupkan bibir, menggambarkan seseorang yang tidak lagi berbicara (dengan berbagai macam alasan)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mingkem : gerakan mengatupkan bibir, menggambarkan seseorang yang tidak lagi berbicara (dengan berbagai macam alasan)

Katarsis : (displacement) mengekspresikan emosi yang sedang di rasakan dengan cara yang lebih diterima masyarakat.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang