Rintik ke-27

12 5 0
                                    


Badan Rinda menggigil kala angin malam membelai badan yang hanya menggunakan kemben dan jarit. Rambutnya basah karena keringat dan darah yang baru saja diguyurkan dengan sengaja ke badannya. Matanya sembab, lelah mengeluarkan air mata yang rasanya sia-sia juga jika terus turun ke pipi. Di lain sisi, Didit masih berdiam diri. Baginya penting untuk mengetahui siapa yang menyerahkan Rinda pada Sophia dan ini berarti Didit harus menunggu waktu yang tepat untuk membebaskan Rinda.

Adhi masih sibuk mengucap jampi-jampi sambil tangannya memegang piringan berisi keringan daun dan bunga yang dicampur dengan kemenyan. Sophia sendiri diam di belakang Adhi. Dia tengah menikmati perhelatan akbar yang didasari oleh rasa cemburu bertahun-tahun yang lalu. Sesungguhnya sejak 2015, perasaan Sophia pada Didit tak lagi semanis dulu. Perasaan itu berubah menjadi kelabu. Yang Sophia inginkan hanya membuat Didit membayar apa yang dia lakukan dulu.

"Rinda Kusumawati, akan diberikan pada kalian yang menawar dengan harga tertinggi. Kalian tidak usah khawatir. Suaminya, Didit Handhoko yang terhormat, dengan sukarela menyerahkan istrinya. Datangnya dia ke pagelaran ini adalah bukti bahwa dia dengan baik hati menyerahkan perempuannya," kata Adhi sambil menatap Didit, diikuti tamu yang langsung menatap pemimpin keluarga Handhoko tersebut.

Didit menatap balik tamu yang datang. Putra tidak mau kalah, dia mengambil payung yang tadi dia bawa dari rumah lalu membuka pegangan yang terhubung dengan kanopinya. Putra memutarnya sedikit dan tampaklah pedang panjang yang tadinya tersembunyi di dalam payung. Pedang dengan bentuk seperti pedang estoc ini mengerucut hingga ke mata pedang. Bentuknya tidak lebar dan cenderung pipih, sangat efektif untuk menusuk siapa pun dari titik buta.

Bukan Handhoko namanya jika sorot matanya tidak membuat orang lain langsung menciut. Orang-orang Handhoko terlahir untuk menjadi pemimpin, baik dalam konteks negatif atau konteks positif. Tamu yang tadinya menatap Didit dan Putra secara spontan, kini berbalik menatap pelataran dengan gugup. Mereka menyesal telah berani menatap Didit dan anaknya dengan berani.


"Didit, bagaimana tanggapanmu?" tanya Adhi.

"Ini tanggapanku," jawab Didit setengah berteriak lalu menyeret Ratna yang duduk di samping Putra lalu menodongkan belati ke leher gadis itu.

Putra kaget bukan main. Muridnya sekarang berada di tangan ayahnya dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Ratna sendiri hanya diam tidak berontak. Dirinya seperti sedang bertemu malaikat kematian dan dengan senang hati menyapanya. Meski tangannya dingin dan keringat mulai mengucur, Ratna tahu bahwa ini akan lebih baik dibanding harus menjadi noda dalam keluarganya. Dia lebih rela mati di tangan keluarga Handhoko dibanding hidup tersiksa karena keluarganya sendiri.

Tenggorokan Adhi kering. Melihat Ratna hanya berjarak satu tarikan napas dari belati Didit membuat laki-laki yang menjadi dalang malam ini berpikir keras bagaimana membuat suasana terkendali. Adhi memang tidak memperhitungkan kedatangan Ratna. Dia hanya mengundang beberapa orang dan kali ini dia mengaku bahwa dia benar-benar kecolongan.

"Sing aso, Dit. Antara kamu, aku, dan Sigit, kita semua bermusuhan. Kenapa tidak bekerja sama saja dengan aku untuk menghancurkan Sigit? Ingat teori konflik? Musuhnya musuhmu adalah sekutu."

"Bajingan. Musuhnya musuhku adalah musuhku yang lain," kata Didit.

"Diwyasayaka," kata Putra lirih.

Guto yang mendengarnya langsung membidik dengan Rochester 47 yang dilengkapi peredam suara. Bersama dua rekannya, Guto sudah membidik 3 sasaran. Rekan satu timnya merupakan Parna dan Parman, laki-laki kembar yang telah sepuluh tahun menjaga perbatasan Lebanon. Parna membidik kepala Sophia yang sekarang tengah menenangkan dirinya sendiri. Parman membidik kepala Adhi, sedangkan Guto sudah siap membidik kepala Sigit sejak pasukan ini bersiap di Candi Perwara.

"Pandhawa, hijau. Siap eksekusi."

"Punakawan, hijau. Siap eksekusi."

"Dasamuka, merah. Ganti," kata Guto.

"Aku butuh tiga target hijau," jawab Putra lirih.

Malam ini semua keputusan akan menjadi langkah yang penting untuk diambil. Putra tidak mungkin main-main kali ini. Ada empat nyawa yang menjadi taruhan. Satu nyawa melawan tiga nyawa, tentu saja di sini sangat tampak bahwa sebenarnya percaturan ini dimenangkan oleh keluarga Handhoko, tapi tidak. Putra berpikir ini terlalu rapi untuk sebuah pagelaran. Tidak mungkin dia menang semudah ini. Dalam permainan catur, semuanya memiliki lawan yang sepadan. Jika Handhoko akan bertaruh dengan Garya dan Wijaya Kusuma, itu berarti akan ada yang melawan pasukan Guto.

"Aku dan Ayah melawan Sigit dan Adhi. Lalu Ibu dan Ratna sama-sama menjadi sandera, itu berarti akan ada yang membidik pasukan Guto," pikir Putra. Dia melihat sekeliling hingga netrannya menatap ke arah atas.

"Put, kita bawa pasukannya Guto. Jelas mereka membawa sesuatu juga." Didit berbisik pada anak sulungnya itu.

"Bio aerosol," kata Putra sambil melihat beberapa tabung yang tersambung dengan peledak.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang