Rintik ke-16

11 5 1
                                    


Rasanya kenangan tentang Dhita sulit dikikis. Bulan dan tahun telah berganti, tapi tak ada tanda Dhita hidup kembali. Tidak ada aroma sewangi kasturi, rupa se-ayu bidadari, atau budi sebaik bathari setelah Dhita pergi. Kepergian Dhita menyisakan luka yang tak kunjung sembuh dan sedih yang tak kunjung luruh.

Tentangnya atau seseorang yang Putra sebut perempuan, sangat sia-sia jika Putra menyerah sekarang. Dia masih mendamba Dhita bahkan setelah perempuan itu meninggal. Tidak tahu apakah ini hanya kegilaannya atau memang dia melawan Tuhan. Garis yang diberikan-Nya sudah sangat jelas. Dhita, wanita kesayangan Putra, telah tiada. Bukan untuk sebulan atau dua bulan, tapi untuk selamanya.

"Tapi siapa yang memperjuangkan orang yang sudah tiada?" tanya Putra dalam diamnya. Dia menatap ratusan buku di depannya. Mengabaikan Guto yang sedang berkeliling di perpustakaan kecil itu.

"Mas Putra sedang memikirkan sesuatu yang berat po?" tanya Guto, membuat Putra tersenyum hangat.

"Mboten, Pak. Putra cuma sedang berpikir sesuatu."

"Katakan saja, Mas. Saya memang tidak berpendidikan tinggi, tapi saya pendengar yang cukup baik," kata Guto lalu Putra tersenyum tipis.

"Apakah merelakan sesuatu itu memang sulit?"

"Apa Mas Putra sedang kehilangan sesuatu?" tanya Guto, membuat Putra menatap jarinya sendiriㅡbingung.

Kehilangan. Sebuah kata yang teramat dibenci semua insan. Sebuah kata yang bersahabat baik dengan kenangan. Mereka berdua sangat kompak membuat manusia dikunjungi kemalangan. Membuat manusia menerima pahit untuk ditelan. Sebuah kata hina bak kutukan. Walaupun bagi Putra kata itu sama pentingnya dengan wejangan.

"Anggap saja begitu, Pak."

"Kita belajar mengingat. Bukankah sebaiknya kita belajar soal melupakan?" Pak Guto melemparkan pertanyaan retorik. Membuat Putra ingat akan sesuatu.

"Apakah itu sama dengan sedih dan bahagia?" tanya Putra.

"Soal emosi, jelas Mas Putra lebih tahu, tapi bukankah terlalu serakah jika kita hanya memilih bahagia?"

Yah, memang akhir-akhir ini Putra terkesan sangat tamak. Terkesan rakus. Apa yang dirasa harus bisa diwujudkan, termasuk bangkitnya Dhita. Putra masih mengusahakan kebangkitan perempuan itu pada-Nya. Berusaha bernegosiasi pada Sang Pencipta demi kesembuhan hatinya. Inilah Putra yang belum menerima kepergian kenikirnya.

Putra sendiri tidak tahu hingga kapan dirinya akan menuntut keimanannya sebagai ganti kebangkitan Dhita. Tidak tahu kapan deru napas yang kian melambat bisa kembali mencium aroma kasturi atau menatap tak bosan rupa se-ayu bidadari. Baginya, Dhita hanya satu. Tidak ada ganti, tidak ada replika. Tidak ada versi lain dari Dhita selain perempuan yang kini tertidur pulas bersama bathara-bathari surga.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang