Rintik Ke-10

29 9 1
                                    

"Ada yang ingin dijelaskan lebih lanjut?" tanya Putra tanpa melepaskan tangannya dari lembar asesmen.

"Ada, Pak, tapi ngga di sini."

"Terus di mana?" Putra mulai memberikan atensinya pada Ratna.

"Jam tujuh malam di jalan yang mau ke rumahnya Haji Zul, ya?"

"Hah? Yang bener a-"


Belum selesai Putra melanjutkan kalimatnya, Ratna sudah keluar dari online meeting. Sejenak Putra menganggap ocehan Ratna tidak lebih dari sekadar guyonan belaka, karena sejak kapan di mata Ratna seorang Putra menjadi penting? Putra yang tadinya terfokus pada SPSS yang akan diajarkan pada anak semester 4 yang sedang praktikum kini malah terfokus pada nama Ratna.

Hingga tidak terasa sudah pukul setengah tujuh malam, Putra izin untuk keluar. Kopi hitam menjadi alasannya agar bisa pergi. Anggota keluarganya dan Satur hanya mengangguk tanpa rasa curiga barang sedetik. Kecuali mungkin Dimas adiknya yang tidak sebodoh itu dikelabui kakaknya. Yah, persetan dengan itu.


"Sial. Kenapa aku harus mengikuti permintaannya?"

"Tapi, bagaimana jika dia di sana sendirian? Mana di dekat jalan sini sudah ngga banyak orang."


Putra mengeratkan tangannya pada payung yang sekarang melindunginya dari rintik hujan yang menyapanya ringan. Setelah sampai di titik yang dijanjikan Ratna, Putra langsung melihat ke kanan dan kiri, memastikan bahwa yang datang nanti bukan perempuan berambut panjang dengan baju putih atau kain kafan yang terbang ke sana ke mari. Suasana dingin, sepi, dan hujan yang mulai reda mengingatkannya pada lagu Singing in the Rain. Putra hanyut pada lirik yang ia rapal dalam hatinya. Hingga suatu sapaan mengagetkannya.


"Pak?"

"Astagfirullah! Kaget saya! Kamu ngapain suruh saya ke sini?"

"Ngga papa, cuma mau bilang kalau Ratna suka Pak Putra," kata Ratna santai sambil merapikan payung karena hujan sudah reda.

"Kebanyakan makan cilok ya?"

"Hah?"

"Kamu penjual keong?"


Putra berusaha mencari jawaban dari mata hitam Ratna, tapi yang ia temukan justru jutaan namanya. Keduanya sudah akrab dengan istilah cinta-mencintai, tapi entah kenapa sekarang semuanya menjadi beda. Entah apakah karena cilok dan keong yang dituduhkan Putra atau karena keduanya tiba-tiba menjadi seorang remaja yang baru mengenal cinta.


"Ratna ngga bercanda, Pak. Emang ngga boleh ya?"

"Ya bukan ngga boleh," kata Putra berusaha mencari jawaban yang tepat untuk delapan tahun jarak di antara mereka.

"Terus apa?" sekarang giliran Ratna yang menatap Putra. Putra enggan menatapnya balik, dia memilih untuk memijit pelipisnya.

"Ya Allah Gusti Pangeran, paringono sabar," kata Putra dalam hati.

"Ya Allah Gusti Pangeran, paringono sabar," kata Putra dalam hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang