Tetes ke-1

6 1 0
                                    

Numpang Hidup


Pada dasarnya manusia adalah kanvas yang putih, bersih, penuh kasih. Dia lahir dari tawa dewa-dewi dan akan dirawat oleh ibu pertiwi. Kanvas putih itu akan berwarna kala kita sudah dewasa. Bagaimana dan apa pola yang tergambar dipengaruhi oleh lingkungan dan diri kita sendiri. Maka kita tidak bisa menghakimi seorang pembunuh hanya dari satu sisi, karena jika hati orang siapa yang tahu, maka cerita orang juga siapa yang tahu?

Putra duduk di teras agen bus efisiensi di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah. Teriknya matahari masih menyapanya bahkan setelah lima jam perjalanan di atas mobil pick-up. Putra menunggu seseorang menjemputnya. Menunggu seorang sahabat yang sudah lebih dahulu ke Sokaraja.


"Tur!" panggil Putra lewat masker yang digunakannya.

"Wes suwe?" (Sudah lama?)

"Belum, aku baru sampai," kata Putra.

"Oh, kaya ngana ta?" tanya Satur lalu dia bingung.

"Apa?"

"Kamu ngga bawa apa-apa?"

"Ngga, Tur. Namanya ngga tahu diri kalau aku masih membawa barang dari kota itu."

"Kayanya tipuanmu berhasil haha," tambah Satur.


Kedua laki-laki itu menyebrang lalu masuk ke mobil Satur. Perjalanan keduanya hening tanpa suara. Putra sibuk melihat ke arah kiri di mana toko dan kendaraan berebut menjadi objek terbaik di mata Putra. Netra hitamnya tidak bosan melihat jalanan bahkan ketika mereka sudah memasuki kawasan Purwokerto, Putra enggan mengawali pembicaraan. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri hingga sangat sulit menyusun kalimat, bahkan untuk sahabatnya.


Satur memaklumi itu. Apa yang dialami sahabatnya ini tidak mudah. Kematian yang direkayasa serta pembunuhan di Prambanan bukan pengalaman biasa yang semua orang dapat. Maka dari itu sebenarnya Satur mau untuk saling mendiami, hanya saja tempat Putra bersembunyi nanti harus Satur jelaskan.


"Udah tahu kamu bakal tinggal di mana, Put?"

"Belum. Di mana?" tanya Putra sambil menghadap Satur.

"Di rumah Bu Lastri," jawab Satur.

"Biar aku tebak. Pemilik warung makan?"

"Pemilik rumah bordi*," jawab Satur.


Putra memicingkan matanya. Menatap Satur dengan sorot mata tajam. Bagaimana bisa sahabatnya memberikan tempat tinggal untuknya seperti itu? Putra lebih memilih gubuk atau tidur di jalan seperti tuna wisma dibandingkan tidur di atap rumah bordi*. Putra benar-benar tidak habis pikir ke mana akal sehat Satur ketika memilih tempat Putra tidur.


Satur hanya diam mendengar ratusan protes yang diberikan Putra. Dia hanya memikirkan cara bagaimana Putra mau menurutinya. Satur sudah sangat lelah mencari tempat Putra bersembunyi dan sekarang dia enggan berkeliling Purwokerto untuk mencari lagi.


"Emang kenapa?" tanya Satur.

"Ya masa mau di rumah gituan? Bajigur, mending neng dalan." (Ya masa mau di rumah gituan? Bajigur, lebih baik di jalan)

"Sampeyan iki piye to? Kamu yang sarjana psikologi lho."

"Tapi, Tur, aku ini niat umpetan, bukan niat mantap-mantap," jawab Putra membela diri.

"Kamu lho yang sukanya bilang keberagaman individu. Jangan cuma gara-gara mereka bekerja di definisi buruk buat kamu, jadinya kamu pandang rendah. Sing aselole karo muride dhewek sapa anjir? Ko mbok? Putra yang aku kenal ngga gitu."

"Putra yang kamu kenal, sudah meninggal."

"Ora peduli. Aku anter kamu dan kamu bakal ketemu Bu Lastri. Dia orang Jogja, dari keluarga Kartosuwirdjo, jangan main-main."


Putra bungkam. Bukan karena kalimat Satur yang mengancam, tapi lebih kepada dia tahu diri. Keluarga Kartosuwirdjo bukan keluarga biasa. Mereka kenal baik dengan keluarga Garya. Secara sederhana, keluarga Kartosuwirdjo adalah keluarga yang nguri-uri budaya Jawa versi lebih waras. Meski akhirnya keluarga ini terpencar dan tak lagi membuat wadah untuk para seniman lokal, tanah jawa masih mendarah daging dan kiblat kebatinan mereka masih pada tanah jawa, pada Jogja, di mana pun mereka berada. Termasuk Putra. Laki-laki yang sekarang turun dari mobil dan menatap rumah di depannya. Tangan yang beberapa waktu lalu merenggut nyawa, kini menggenggam kunci yang baru saja diberi Satur. Tidak lama lagi Putra akan tinggal di rumah itu. Rumah yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota Purwokerto yang kini kian ramai. Rumah yang terkesan sepi, namun sesungguhnya penuh badai. Rumah bordi* yang menurut Putra jauh dari kata damai.

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang