Rintik ke-24

10 5 0
                                    


Setidaknya ada lima puluh tamu yang menghadiri pagelaran malam ini. Prambanan yang agung nan mulia menjadi saksi pertama perdagangan manusia. Bagaimana pun, candi yang biasa digunakan untuk ritual keagamaan kini harus tunduk pada keluarga Garya dan Wijaya Kusuma. Candi Trimutri yang melambangkan Dewa Siwa, Dewa Wisnu, dan Dewa Brahma tidak memiliki arti jika sudah disandingkan dengan mereka yang menguasai Jogja. Mereka menutup mata pada sejarah dan budaya yang masih jauh di atas mereka.

Putra duduk bersama ayahnya di barisan pertama, sedangkan Satur dan Dimas enggan berjalan lebih jauh ke area penonton. Mereka berdua lebih senang melihat dari kejauhan. Lagi pula mereka masih harus berjaga-jaga barangkali ada informasi dari Guto. Menurut Satur sendiri pagelaran ini terlalu berlebihan dalam mengambil tempat. Bagaimana tidak? Sendratari Ramayana yang merupakan acara resmi saja tidak menggunakan pelataran Candi Trimurti.

"Mas, nanti tumbalnya mau dibawa gitu? Atau gimana?" tanya Dimas sambil menyandarkan diri pada Candi Apit.

"Gimana ya? Jadi nanti biasanya tumbalnya bakal keluar dari Candi Siwa itu yang di tengah. Turun lewat tangga terus yaudah sesi jual-belinya dimulai."

Kala Satur sedang menjelaskan bagaimana sebuah pagelaran akan dilakukan, Putra sedang sibuk dengan bukunya. Buku yang berjudul Don't Say Yes When You Want To Say No ini sudah sedikit lapuk, maklum cetakan pertamanya tahun 1980. Putra masih kagum dengan buku yang ditulis oleh Dr. Herbert Fensterheim, Ph. D dan Jean Baer ini. Kadang dia membaca lembar terakhir di mana senyumnya akan merekah ketika melihat daftar harga buku saat itu yang berkisar seribu hingga dua ribu lima ratus rupiah.

Melihat anaknya asik sendiri dengan buku yang dibawa, Didit mulai berdeham kecil. Sayangnya, kode awal untuk anak sulungnya ini tidak dihiraukan. Bahkan sampai dalang sudah membuka acara, Putra masih saja membaca buku itu. Tampak sekali pada raut wajah Putra mengharamkan dirinya untuk menikmati pagelaran istimewa ini. Dia enggan melihat ke arah Candi Siwa dan memilih membaca bukunya.

"Mbok ya bukunya ditutup dulu. Masa lagi ada di acara orang malah sibuk sendiri? Ora ilok." Didit mengambil bukunya paksa.

"Entah apa yang menarik dari pagelaran ini selain human trafficking dengan latar candi. Sudah melukai kemanusiaan ditambah melukai budaya yang diagungkan," jelas Putra lalu menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang sudah disediakan.

"Menarik atau tidak, pagelaran ini memang istimewa. Itu yang dikatakan Adhi dan Ayah tau Adhi tidak berdusta."

Dalang yang memimpin pagelaran malam ini adalah Adhi Garya sendiri. Beskap hitam, kancing asli dari emas,  dan jarit motif parang membuat Adhi Garya mencuri atensi tamu. Keris yang ia gunakan merupakan keris yang sama dengan keris yang ditemukan menancap pada perut Asri Sumarni dua puluh tahun lalu. Adhi tidak merasa bersalah menggunakan keris ini. Bahkan kepalanya tidak menggunakan blangkon, tapi menggunakan irah-irahan merak milik Asri. Jika kamu melihat dari jarak satu meter, maka akan kamu lihat bercak merah pada irah-irahan tersebut.

Gong dipukul dan grup calung milik keluarga Garya mulai memainkan tembangnya. Dapat Putra lihat gamelan yang digunakan bukan gamelan naga yang biasa dipakai oleh keluarga Garya. Gamelan malam ini adalah gamelan kembang dengan ukiran halus, tapi sarat makna dan jampi-jampi yang Putra yakin sudah diberikan sebelumnya. Mereka mulai dari tembang macapat Maskumambang hingga terakhir tembang macapat Pucung.

Setelah tembang selesai, Adhi kembali ke tengah pelataran. Dengan antusias, dia menyerukan slogan pagelaran yang sudah digunakan sejak pagelaran pertama dilaksanakan.

"Kidung, sinurba sinukarta. Anggereng, traping angganira. Kaprabun, sinamun." (Lagu, dibuat lebih indah. Mengaum, cocok untukmu. Keraton, sepi.)

Ketika Adhi berkata demikian, entah kenapa degup pada jantung Putra seakan-akan berlari semakin cepat. Kalimat 'Kapabrun, sinamun' yang berarti 'Keraton, sepi' memberikan makna bahwa malam ini semua kaidah-kaidah dari Sultan sudah tidak akan digunakan. Bahwa malam ini hanya ada pagelaran dan penjual. Itu berarti malam ini semua tamu bebas menuhankan diri mereka sendiri. Malam ini mereka membuktikan bahwa manusia adalah predator puncak.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang