Rintik Ke-14

13 7 0
                                    


Beberapa hari setelah lebaran, Jogja masih lengang. Padatnya Kentungan atau Gejayan belum terlihat lagi sejak Indonesia darurat pandemi. Di rumah Putra, seekor belalang sembah betina dengan sangat baik memuaskan nafsu lawannya. Membawa sang jantan terbang ke awang-awang. Ketika akhirnya kedua hewan itu selesai menghempas dahaga, sang betina menghancurkan kepala sang jantan. Pembunuhan terjadi di tengah hari, bersamaan dengan Didit yang sedang membukakan pintu untuk Sigit dan Adhi.

Didit memandang Sigit tanpa ekspresi. Menatap obsidian lawannya penuh kecewa. Adhi hanya bisa diam menatap dua orang yang baru kembali berjumpa setelah 25 tahun lamanya. Pengkhianatan dan sumpah yang dirapal tahun 1995 kembali terulang ketika Didit menatap Sigit, sahabat yang sekarang di matanya adalah musuh yang paling mengundang minat. Memang, bertahun-tahun Didit mengawasi keluarga Wijaya Kusuma, tapi bahkan kehadiran Sigit di depannya masih menjadi tanda tanya dan Didit hanya bisa mempersilakan keduanya masuk tanpa sepatah kata.

"Putra kira seumur hidup tidak akan bertemu seorang Sigit Wijaya Kusuma," kata Putra sambil duduk di samping Ayahnya. Membuat tamunya menatap Putra dengan tanda tanya.

"Dia anak pertamaku, Putra." Didit mengenalkan Putra dan hanya dijawab senyum getir Sigit, sedangkan Adhi hanya bisa menunduk. Intimidasi dari keluarga Handhoko membuatnya seakan tunduk.

"Karena kasus pandemi di Jogja sudah turun, sebuah pagelaran akan dipersembahkan di Prambanan." Adhi mencoba menjelaskan.

"Ada urusan apa hingga aku harus mendengar kata pagelaran? Sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak akan menginjakkan kaki di Prambanan jika candhi itu kau jadikan pasar!" Didit menunjukkan amarahnya.

Yah, sejak keluarga Garya lahir, Prambanan yang mulia memang berganti nama menjadi pasar gadis belia. Dengan kedok nguri-uri budaya Jawa, keluarga Garya dengan mudah menyusun pundi-pundi emas di kantungnya. Menjijikan. Tradisi yang luhur dibuat sedemikian rupa hingga hancur. Mengecewakan. Sakral yang harusnya dijaga kini harus dilelang juga. Inilah yang membuat tidak ada satu pun keluarga Handhoko datang ke pagelaran keluarga Garya.

Sayang sekali. Adhi harus membela keluarganya. Apalagi di sini mereka berempat juga paham bahwa tidak hanya Garya dan Wijaya Kusuma yang kotor, tapi keluarga Handhoko juga jauh dari kata bersih. Jauh dari perumpamaan kertas putih. Adhi cukup yakin bahwa tiga keluarga ini sama berdosanya dengan para cecunguk. Sama anyirnya dengan daging yang busuk. Maka, bagi Adhi tidak adil jika Handhoko tidak datang ke pagelarannya.

"Dit, kita sama-sama kotor. Puluhan tahun kamu tidak datang ke pagelaran keluargaku, sedangkan aku selalu datang ke acara keluargamu. Bukankah itu tidak adil?" Adhi membuat sebuah pembelaan.

"Aku tidak ingin menjadi seorang pembeli, Dhi," jawab Didit.

"Kami mengundangmu bukan sebagai pembeli, melainkan sebagai tamu kehormatan. Tidakkah itu yang disukai seorang Didit?" tanya Sigit sambil tersenyum pahit.

Didit tergiur dengan kata hormat dan mulai memutar otaknya. Dia tidak akan ada di daftar para pembeli, yang berarti namanya masih bersih. Dia cukup datang dan melihat pagelaran dari jauh. Apalagi sekarang sudah ada Putra. Anak sulungnya lebih dari sekadar mampu melindunginya dari ancaman luar. Tidak ada yang berani macam-macam meski hanya menyentuh kulitnya barang sedetik.

Pertimbangan itu akhirnya membulatkan keputusan seorang Didit untuk datang ke Pagelaran di Prambanan. Entah apa yang akan dilihatnya, yang pasti lelang kali ini bukan sembarangan. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan dua sahabatnya secara sukarela. Kehadiran Adhi dan Sigit cukup membuat Didit paham bahwa acara lelang ini tidak akan sia-sia.

"Aku jaminkan padamu sebuah acara yang tidak terlupakan, karena sungguh ... aku telah mengorbankan seseorang," kata Sigit lalu tersenyum sumringah.

 aku telah mengorbankan seseorang," kata Sigit lalu tersenyum sumringah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang