Rintik Ke-6

31 11 0
                                    

Ratna terdiam setelah Putra menutup pintu jati tua itu. Matanya menatap jemari yang tak bergerak sejak beberapa menit yang lalu. Tatapannya kosong bak seorang suci yang bertemu pembohong. Ketika pikirannya sedang entah berjalan ke mana, sebuah tangan menepuk pundaknya lembut.

"Bengong terus. Ngga malu sama buku yang kamu pegang?"

"Pak Yudha ngga lagi ngajar?"

"Cape, Nduk. Mau istirahatin badan saya yang sebentar lagi mau pindah dari sekolah ini."

"Lho? Pak Yudha mau pindah?"

"Pensiun. Saya udah tua."

Gelak tawa Pak Yudha, guru senior di sekolah Ratna, sedikit membuat dara tujuh belas tahun itu merasa lega. Guru matematika yang tidak pernah memaksa muridnya untuk mendapat nilai di atas KKM ini rupanya akan segera pensiun. Lagi-lagi Ratna kehilangan satu sosok laki-laki dalam hidupnya. Yang pertama? Seorang laki-laki yang kini ada di seberang benua. Ayahnya? Bahkan Ratna tidak pernah memasukkan Ayahnya ke dalam daftar manusia.

"Jangan khawatir, banyak guru baru. Saya dengar ada anak Handhoko di sekolah kita."

"Oh ... itu? Si guru yang sok tahu itu?"

"Kalau kamu bilang dia sok tahu, itu berarti apa yang dikatakannya 80% benar."

"Tapi-"

"Tapi, kamu ngga terima, karena dia benar kan?"

Ratna memajukan bibirnya, memberi kesan tidak suka dengan jawaban laki-laki berusia lebih dari hampir enam puluh tahun itu. Lagi-lagi Pak Yudha hanya bisa tertawa. Siapa yang tahu murid kesayangannya punya masalah dengan salah satu anak konglomerat?

"Kalian itu sama. Sama-sama dipermainkan oleh keluarga. Kenapa tidak saling melengkapi saja?"

"Maksudnya?"

"Kalian berdua punya sesuatu yang hilang. Bapak ngga tahu apa. Yang tahu kalian sendiri. Handhoko dan Wijaya Kusuma? Kalian adalah cerita paling menarik dalam hidup orang tua ini."

Tiba-tiba otak Ratna mengingat setiap gerak seorang Putra. Cara Putra menulis di papan tulis, cara ia berjalan, bagaimana suara baritonnya yang khas, hingga senyum yang mampu membuat seorang gadis jatuh hati dalam sedetik. Semuanya terekam jelas di otak Ratna dan obsidiannya mulai merindu pada laki-laki dua puluh lima tahun itu.

Yang pergi tak akan terganti, tapi apa salahnya jika seorang Putra ada di sisi? Pak Yudha masih jadi laki-laki kedua yang bermakna di hidupnya, tapi apa salahnya jika Putra yang sekarang mengisi hatinya?

"Pak Yudha lupa ya? Ratna ini Wijaya Kusuma. Di rumah aja Ratna ngga diterima, apalagi di rumah orang lain?"

"Lho? Kamu ngga tahu? Calon mantunya Pak Didit, pacarnya si Dimas itu, dia anaknya tukang becak lho."

"Ratna memilih untuk jadi anak tukang becak dibanding jadi anak anaknya Sigit Wijaya Kusuma. Keluarga Ratna udah retak dari dalam, Ratna sadar itu."

Ratna tersenyum, tapi Pak Yudha tahu betul muridnya ini terlalu banyak mencicipi pahitnya hidup di usianya yang masih belia, masih remaja. Segala pemikirannya belum matang, tapi ia sudah punya tanggung jawab menopang nama sebuah keluarga, Wijaya Kusuma pula.

Ada seberkas harap ketika Pak Yudha mengatakan bahwa Ratna dan Putra itu sama. Ratna sedikit berharap guru sosiologinya itu bisa menjadi pengganti Pak Yudha. Ia sudah kehilangan laki-laki lain dan Pak Yudha pun akan pergi. Tidak bisakah Ratna meminjam Putra untuk meraih mimpi? Setidaknya agar Ratna punya alasan untuk tidak mati.

"Kamu baik-baik saja, Nduk?"

"Eh? Iya ... Ratna baik-baik saja," kata Ratna sambil tersenyum.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang