Rintik Ke-3

57 19 0
                                    

Hari pertama Putra tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Hari ini hujan dan ia langsung merapikan meja kerjanya. Beruntung kantor guru memiliki sekat. Jadi, ia tak perlu repot-repot bertegur sapa setiap bertemu guru lain. Tak perlu basa-basi dengan bertahan mendengar setiap orang memberi puji.

Siang ini Putra mengajar di jam terakhir. Di suasana yang mendung ia masuk dan langsung dipersembahkan sebuah tatapan mengantuk dan lelah. Ia memakluminya apalagi ketika pukul dua siang dan langit sudah sangat gelap.

"Kalau saya perkenalan dahulu, kalian tambah ngantuk. Kalau kalian yang perkenalan, pasti membosankan. Jadi, hari ini kalian mau ngapain?"


Anak-anak menatapnya kagum. Baru kali ini ada guru yang menanyakan hal seperti itu. Di lain sisi Putra hanya tertunduk gugup menutupi tiap degup. Tak bisa disangkal, berhadapan dengan tiga puluh anak berusia tujuh belas tahun bukan hal yang mudah. Walaupun ia menyangga nama Handhoko. Walaupun ia tahu di sini ia bukan jadi orang bodoh.

"Karena tidak ada yang menjawab, bapak beri tugas 1 nomor dan yang sudah selesai boleh pulang."


Semua anak kegirangan. Mungkin pengecualian untuk seorang gadis yang duduk di pojok belakang dekat tirai. Ia menghela napas berat dan membenarkan kacamata yang tadi sedikit turun. Ia menatap keluar jendela dan berharap hari ini tak susah pulang.



"Belum selesai? Apa tugasnya begitu sulit?"

"Aku bahkan belum menulis satu huruf pun."

Putra yang sedang membereskan tasnya langsung ke tempat duduk gadis itu dengan mengerutkan dahinya. Sedikit tak percaya dengan jawaban muridnya. Pertanyaan yang diberikan hanya satuㅡtentang cita-cita mereka sepuluh tahun ke depan. Kenapa anak ini belum menulis apapun sejak satu setengah jam yang lalu?

"Apa itu susah?" Putra duduk di kursi depan gadis itu. Melihat kertas folio yang masih kosong melompong hanya terisi biodatanya.

"Tidak."

"Lalu kenapa kertasmu kosong?"

"Ratna ... hanya tidak memiliki cita-cita."

Ah, lagi-lagi kasus keluarga. Putra langsung tau meskipun hanya dari 1 kalimat. Bukan tanpa alasan, hanya saja gadis bernama Ratna ini hanya mengisi namanya. Nama orang tua dikosongkan. Padahal hanya dengan melihat name tag-nya, Putra tahu dia anak 'Wijaya Kusuma'. Keluarga dokter yang sangat terkenal. Putra hanya tersenyum sinis.

"Cita-cita bukan cuma dokter. Tulis saja apa yang kamu mau."

"Dari mana bapak ta-"

"WK. Wijaya Kusuma, kan? Kamu pasti putus asa karena masuk IPS, sedangkan keluarga besarmu adalah dokter. Apa yang bisa kamu pilih?"

Ratna memainkan pulpen hitamnya. Apa yang dikatakan Putra tidak ada yang salah. Dia memang seorang Wijaya Kusuma yang menepi. Anak Wijaya Kusuma yang di IPS sendiri. Dia tak ada pilihan lain selain bertahan untuk dirinya sendiri. Bertahan agar tidak mati. Bertahan untuk tetap menjadi Wijaya Kusuma meskipun tak sama dengan yang lain.

"Hah, benar. Apa yang bisa Ratna pilih? Hidup ini ngga kasih Ratna pilihan apapun."

"Hidup ini? Yah, bocah. Bukan hidup ini yang ngga kasih pilihan. Tapi, kamu yang menutup diri. Kenapa kamu menyalahkan hidup dengan nasibmu jadi anak Wijaya Kusuma?"

"Bapak bilang gitu karena bapak itu Handhoko. Tuntutannya cuma jadi guru. Kalau bapak jadi-"

"Jangan bandingkan saya dengan kamu. Keluarga kita beda bahkan cenderung penuh pertengkaran. Cepat selesaikan tugasnya dan kumpulkan di meja bapak."

Jika dikata Putra marah, tidak juga. Ia hanya malas berurusan dengan bocah kemarin sore yang tidak paham bahwa apapun bisa diperjuangkan. Putra sempat berpikir pertemuannya dengan Ratna adalah suatu kebetulan, tapi ia adalah seorang Wijaya Kusuma. Entah apa yang harus dipikirkan Putra. Mengajar salah seorang dari grup keluarga terkaya di Jogja tidak semudah itu. Ia juga yakin pasti Ayahnya tidak serta-merta hanya menginginkan anaknya jadi guru. Ada sesuatu yang belum Putra pecahkan. Rasanya pertemuan ini terlalu rapih jika dinamakan kebetulan.

Di tempat lain, seorang laki-laki menatap keluar arah kantornya. Menikmati malam yang semakin indah dengan cahaya lampu kota. Laki-laki itu tak bergeming ketika seseorang yang ia tunggu masuk ke ruangannya.

"Bagaimana?"

"Anak kedua Sigit Wijaya Kusuma masuk IPS."

"Hm ... begitu ...."

"Apa yang akan kita lakukan?"

"Jangan lakukan apapun. Biarkan mereka hancur dari dalam," kata Didit Handhoko.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang