Abses, Gigi Premolar, dan Kenikir

8 2 0
                                    

#JENTERAPUTRA
Bagian dari Semangkuk Nasi Merah

Depok, 2019

Namanya Diajeng Mandhita Wangi. Kepintarannya mengantarkan sang dara pada Fakultas Kedokteran Gigi di UIㅡlengkap dengan atribut hijau dan kuning. Di sinilah Dhita mendapat bunga matahari dari profesornya karena berhasil mendapat buku 𝘈𝘳𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘤𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘖𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘋𝘦𝘯𝘵𝘪𝘴𝘵𝘳𝘺 lewat permainan sederhana di RSGM UI, Salemba. Sebenarnya, dibanding bunga matahari, Dhita lebih suka kenikir. Bunga sederhana yang mengingatkannya pada Putra.

"Kenapa harus ke sini? Pulang saja, Mas," kata Mbok Dasri, lansia yang mengurus Dhita sejak kecil.

"Putra baru sampai dari Jogja. Biarkan Putra mengunjungi Dhita walaupun hanya lima menit ya?"

Mbok Dasri sebenarnya enggan meladeni keinginan Putra. Enggan merepotkan laki-laki ini lagi. Sudah bertahun-tahun Mbok Dasri dibantu Putra untuk hidup menemani Dhita dan bertahun-tahun juga Mbok Dasri menganggap Putra cucunya sendiri.

Perempuan tujuh puluh tahun itu kembali ke dalam rumahnya dan memberikan keranjang cokelat milik Dhita lengkap dengan isinya. Ia berikan pada Putra yang sekarang sedang menunggu dengan sabar di ruang tamu. Ketika menerima keranjang itu, sejujurnya Putra mengharapkan kenikir, bukan mawar.

"Mbok, Dhita sukanya kan kenikir," kata Putra sambil tertawa kecil.

"Kalau Mas Putra yang bawain, apapun bunganya, Dhita pasti suka."

Putra hanya tersenyum dan pergi meninggalkan rumah Mbok Dasri. Di jalan, dia bertemu banyak sudut yang membuatnya tidak lelah merindu Dhita. Mulai dari asrama Salemba, mushola dan warteg di sampingnya, McD yang tidak jauh dari asrama, dan pedagang ayam sambal hijau yang dulu sering jadi tempat singgah.

Pukul empat sore lebih sedikit, Putra melangkahkan kaki menuju sang kekasih. Menginjakkan kaki pada tanah yang sedikit lembab karena musim hujan. Putra berlutut di pusara ituㅡtempat peristirahatan terakhir Dhita. Ia tabur bunga mawar dan dengan perlahan ia siram air mawarㅡmenyeluruh hingga seluruh tanahnya mulai luruh.

"Profesor Elsa mengirimkan ini setelah ia membawanya ke Jenewa. Lihat? Skripsi dengan cover putih ini sangat mewah dengan huruf emas di atasnya," kata Putra sambil menunjukkan skripsi Dhita tentang penderita periodentitis.

"Aku membacanya berkali-kali dan sama sekali tidak paham, Dhit. Aku tidak percaya kamu bisa menyusun skripsi sebagus ini. Seingatku, yang kamu ceritakan adalah mengaduk adonan untuk cetakan gigi dan lelahnya mencabut gigi pakai tang."

"Ingat dokter gigi Agus? Residen yang melakukan bedah minor di gusiku? Sekarang dia sudah punya anak. Padahal, terakhir aku bertemu dengannya, dia masih bujangan.

Putra tersenyum, menyadari sudah lima tahun Dhita pergi. Diraihnya tas punggung hitam itu dan ia keluarkan setangkai kenikir kuning. Kenikir yang sudah bertahun-tahun ia simpan hingga warna kuning berubah menjadi cokelat dan dari ujung hingga ujung sudah kering. Jika tidak hati-hati, kenikir itu bisa langsung hancur.

"Aku menyimpannya. Aku ambil dari kamarmu dan sekarang aku kembalikan. Maaf tidak membawakanmu kenikir yang masih cantik, Dhit."

Bunga kering itu ditaruhnya di dekat batu nisan setelah Putra selesai berdoa. Putra tersenyum pahit sambil membersihkan rumah terakhir Dhita dari rumput liar. Mencoba menahan agar perih ini tidak pecah. Menahan agar pikirannya tidak menyalahkan Tuhan. Agar dia bisa menerima kepergian kenikirnya dengan lapang dada. Menerima ketiadaan perempuan yang sempat membuatnya jatuh cinta.

"Diajeng Mandhita Wangi, hidupㅡtidaknya kamu, seorang Dhita akan menjadi satu-satunya kenikirku. Tidak ada yang lain, hanya kamu."

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang