Rintik ke-30

24 5 0
                                    


Putra bangun tepat ketika ayam berkokok sangat keras. Selimut putih gadingnya agak kusut dan condong ke sebelah kanan, tempat Ratna terjaga. Semalam adalah malam yang panjang. Baginya sendiri membunuh puluhan orang akan setimpal dengan apa yang nanti akan terjadi. Memanjakan Ratna adalah kisah yang lain lagi. Baginya Ratna adalah lembar tersendiri di hidupnya. Dia salah dan serakah. Menjadi pembunuh, guru, dan masih menuntut Ratna menjadi kekasih adalah alur yang buruk untuk sebuah kisah.

Putra akan sangat paham bahwa pembaca telah mengutuk dirinya dengan sumpah serapah yang mungkin akan lebih panjang dibanding narasi sebuah cerita. Bercinta dengan muridnya sendiri saja itu sudah sangat biadab. Apalagi ditambah membunuh ayah dari perempuan yang semalam berteriak memanggil namanya. Membuat rumah pribadi Putra di Pakem mendadak riuh oleh tangis dan lenguhan.

"Dim, jemput Ratna di rumah Mas yang di Pakem," kata Putra lewat sambungan telpon sambil melihat rona merah Ratna kala subuh datang.

"Mas mau ke mana?"

"Jangan tanya soal itu dulu. Yang penting Ratna jemput aja."

"Kapan, Mas?"

"Lima belas menit lagi."

Putra memutus sambungan telponnya, meninggalkan Dimas dengan sejuta pertanyaan tentang akan ke mana kakaknya sekarang. Lima belas menit akan diisi apa oleh kakaknya? Apakah kakaknya akan pergi? Bagaimana dengan Ratna? Oh jangan salah. Dimas cukup tahu atas apa yang telah diperbuat keduanya semalaman. Dimas cukup dewasa untuk itu. Walaupun dia sendiri tidak tahu seberapa jauh permainan kakaknya semalam.

Lima belas menit digunakan Putra untuk memungut pakaian yang berserakan di sofa dan lantai, menggunakannya kembali secepat mungkin. Setelahnya, dia membuka sedikit tirai di jendela agar Ratna bangun ketika cahaya barat mulai menyapanya. Dengan bergegas, dia turun dan keluar rumahnya untuk pergi ke seberang untuk membeli nasi merah lengkap dengan goreng terong dan pecel yang dipisah. Lalu dia bawa dan menaruhnya di samping ratna, di meja kecil dekat kasur. Sejenak, Putra menatap muridnya lalu mendekat.

"Kamu akan jadi bagian terakhir kisah saya. Tidak tahu apakah nanti kamu ada di lembar berikutnya, tapi yang jelas kamu seperti semangkuk nasi merah di pagi hari."

"Dan saya cinta kamu," kata Putra lalu mencium kening perempuan di depannya dengan tulus.

Pukul enam pagi suasana Pakem masih dingin. Tempat yang lumayan dekat dengan lereng Gunung Merapi ini masih diramaikan dengan suara ayam dan sepeda yang lalu-lalang. Rumah pribadi Putra yang satu ini lumayan dekat dengan pemukiman warga, menjadikannya tempat yang nyaman untuk mengenal orang sekitar.

Putra keluar dan menutup gerbang rumahnya setelah mobilnya keluar garasi. Menutup dengan perlahan agar perempuan di kamarnya tidak terganggu suara gembok kunci. Mobilnya melaju pelan, berjalan turun menuju Jalan Kaliurang hingga kilometer nol, dan berhenti tepat di Bundaran UGM setelah melewati toko swalayan. Putra pergi hingga dia meninggalkan Jogja. Di belakang mobilnya masih sunyi Prambanan yang semalam diselimuti darah. Masih ada kisah soal konglomerat Jogja dan seorang perempuan yang dia tinggal bersama semangkuk nasi merah di dekatnya.

"Akan ke mana kita kali ini?" tanya Putra pada pembaca yang sekarang sedang menikmati pahitnya hidup. Adegan ini menjadi pungkasan cerita pada Semangkuk Nasi Merah.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang