Sama, tapi beda bentuknya

7 2 0
                                    

#JENTERAPUTRA
Bagian dari Semangkuk Nasi Merah


Bandung, 1987

Seorang perempuan sedang berlari ke sana ke mari. Sepatu dengan heels berukuran 2 cm itu bunyi bersaut-sautan dengan suara klontangan alat-alat medis di rumah sakit besar di Bandung, RSUP Dr. Hasan Sadikin. Perempuan itu bernama Rinda. Rinda Kusumawati. Seorang dewasa karbitan yang sedang sibuk dengan kegiatannya di rumah sakit.

"Ah, sungguh ini sangat melelahkan."

"Iya, Dar. Rasanya ingin aku menjadi ibu rumah tangga saja," kata Rinda sambil merapikan meja administrasi.

"Ah! Benar juga. Jika kita jadi mereka, kita tidak susah payah bekerja di umur seperti ini, kan?"

"Aku sudah dilamar Didit, Dar. Seharusnya aku menerima lamarannya langsung saja. Peduli setan dengan umur tujuh belas tahunku ini."

"Untung kamu kerja, Rin! Coba kalau ngga? Mati kamu dicaci maki ibu mertua."

Rinda memang sudah dilamar Didit dan akan melangsungkan pernikahan di umurnya yang masih belia. Tapi, ternyata Rinda harus menempuh sekolah keperawatan karena saran dari kakak Didit. Ia mengatakan bahwa Rinda harus bekerja jika tidak ingin bernasib sama seperti istrinya yang tidak bekerjaㅡjadi bahan cacian ibu mertua. Di sinilah ia bekerja pagi, siang, hingga sore bersama pasien yang tidak semuanya mudah dikendalikan. Yah, beberapa memang mudah. Termasuk ibu rumah tangga.

"Ada janji dengan siapa, Bu?"

"Saya Lasmi ingin bertemu dengan Dokter Siti. Saya sudah menunggu sedari tadi."

"Mohon bersabar ya, Bu. Dokter Siti sedang ada pasien lain."

"Hm, gimana ya Mba? Padahal saya sudah meluangkan waktu untuk datang-"

"Maaf Ibu, silakan tunggu di kursi saja."

"Waduh sudah jam segini ya. Saya harus-"

"Bu, Dokter Siti itu kerja, ngga kaya Ibu yang jadi ibu rumah tangga!"

Rinda menggertak ibu-ibu di depannya sembari menunjukkan surat kelengkapan data milik ibu itu. Bu Lasmi hanya mengangguk lalu kembali duduk di kursi tunggu. Tangannya saling menghangatkan satu sama lainㅡtakut dengan suster yang baru saja menggertaknya, barangkali. Rinda sendiri menghela napas panjang sebelum akhirnya melihat pujaan hatinya datang.

"Masih dinas, Rin?"

"Lho? Mas? Ngapain ke Bandung?"

"Ada urusan. Mukamu merah, habis marah-marah, ya?" Didit memberikan buket bunga dan dibalas senyum malu-malu Rinda.

"Gimana ngga marah? Ada ibu rumah tangga ngeluh ngga dipanggil-panggil. Dia sih enak ngga ngapa-ngapain. Nah, dokternya kan kerja. Aku juga jadi perempuan kan kerja. Masa gitu aja dia ngga ngerti?"

"Emang ibu-ibunya yang mana?"

"Itu, yang pake batik kuning, Mas."

Didit Handhoko mendekati Bu Lasmi yang dimaksud kekasihnya. Entah apa yang ia bicarakan dengan Bu Lasmi, tapi satu setengah jam kemudian Didit kembali dengan satu bungkus apem di tangannya.

"Dari siapa, Mas?"

"Dari ibu rumah tangga yang kamu maksud tadi. Ini kue apemnya katanya suruh dikasih ke kamu. Dia minta maaf, katanya bikin kamu marah tadi."

"Hih, lagian sih dia kan cuma-"

"Kamu pikir jadi ibu rumah tangga gampang, Rin? Nyapu rumah sampai mandiin anak-anak itu ngga gampang. Jangan karena kamu kerja, kamu jadi sepelein mereka. Medan perangmu di rumah sakit, nah ... medan perang mereka itu di mana-mana. Jadi, berhenti merasa lebih tinggi."

Rinda memandang kue apem itu dengan nanar. Sekilas amarahnya masih membuncah, tapi kini malah rasa bersalah yang tumpah. Ia melihat Bu Lasmi itu lagi. Masih sibuk melihat sana-sini dan tangannya masih menghangatkan satu sama lain. Sambil mengusap air matanya, Rinda berjalan ke arah Bu Lasmi. Memberinya buket bunga yang dibawa kekasihnya. Barangkali dengan buket bunga itu, rasa bersalah Rinda sedikit menghilang. Atau lebih jauh lagi, Rinda harap buket bunga itu mampu menghibur seorang ibu yang sedang diterpa sendu.

Bu Lasmi tersenyum. Baru kali ini ia melihat bunga secantik ini. Matanya tertuju pada warna-warni kelopak bunga. Iya, buket bunga itu tidak hanya berisi satu macam bunga. Ada beberapa jenis bunga dengan warna yang tak sama. Bunga itu sama cantiknya, tapi dengan cara yang berbeda.

Kisah ini dibuat tidak bertujuan apapun selain merayakan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret dan media belajar bersama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kisah ini dibuat tidak bertujuan apapun selain merayakan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret dan media belajar bersama. Plot ini memiliki makna yang bervariasi tergantung dari sudut pandang mana pembaca melihatnya. Apabila ada beberapa bagian yang menyinggung beberapa pihak, itu bukan kesengajaan creator.

"Medan perangku di rumah sakit, tapi medan perang mereka ada di mana-mana."

Dari perempuan yang baik hatinya.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang