Tetes ke-5

2 0 0
                                    

Bocah Cilik


Putra membiarkan rumah bordi* milik Nyonya Lastri ramai pengunjung malam ini. Dia memilih untuk jalan-jalan sendiri ke alun-alun Purwokerto yang ramai dengan motor hias dan orang-orang yang berkunjung. Putra mengambil masker dan jaketnya lalu turun ke bawah lewat tangga belakang. Laki-laki ini tidak ingin mengganggu tamu yang sedang gemeruduk datang. Putra hanya berpamitan dengan Pak Badri yang saat itu sudah selesai melakukan pengecekan dan sedang menutup gerbang.

Kakinya melangkah hingga bertemu alun-alun yang masih ramai. Bisa jadi ini karena lokasinya yang strategis di antara masjid besar dan swalayan yang sudah sangat dikenal masyarakat hingga luar kota. Putra duduk di pinggiran alun-alun bersama seorang bocah yang tidak jauh darinya sedang menatap lekat ke arah swalayan yang gemerlap menandingi lampu tengah kota.

Bocah itu duduk tanpa mengedipkan matanya melihat bangunan megah di seberang jalan. Putra ikut melihat swalayan besar itu. Akhirnya Putra mendekati bocah tadi, duduk tepat di sampingnya. Putra berdeham lembut, namun atensi bocah itu tak goyah. Bahkan ketika Putra berpura-pura batuk, atensi bocah itu masih tidak bisa diganggu gugat. Di titik ini akhirnya Putra menyerah lalu membuka pembicaraan.


"Pengen masuk ya?" tanya Putra.

"Wis tau, Mas." (Sudah pernah, Mas).

"Moso seh? Kapan?"

"Bapakku kuwi kuli sing melu mbangun. Ben dina aku dijekki ngelongok mall sing biyen durung dadi." (Bapakku itu kuli yang ikut membangun. Setiap hari aku diajak melihat mall yang dulu belum jadi)

"Besok ajak lagi bapaknya," tambah Putra lalu bocah itu melihat ke arah laki-laki di sampingnya.

"Bapak? Wis ninggal, Mas. Ketiban wesi pas lagi mbangun," jawab bocah itu. (Bapak? Sudah meninggal, Mas. Kejatuhan besi waktu sedang membangun)


Putra terdiam ketika akhirnya anak laki-laki itu tersenyum dan mengambil roti sisir dari sakunya lalu menawarkan pada Putra yang masih diam membisu bahkan setelah dia menerima tawaran bocah itu. Roti sisir yang bungkusnya sudah berdebu ini ternyata sudah kadaluarsa. Bahkan sudah sedikit mengeras dan merk-nya juga tidak jelas dari mana. Ketika Putra sibuk dengan rotinya yang sudah kadaluarsa, bocah itu sedang menikmati makanan yang bisa dia makan hari iniㅡroti sisir.

Mereka akhirnya saling bertukar cerita. Bocah yang katanya biasa dipanggil Daus itu ternyata tidak sekolah sejak setahun yang lalu, tepat ketika ayahnya meninggal. Akhirnya Daus hidup berdua dengan adiknya yang tak lama kemudian meninggal karena malaria. Putra sempat menanyakan tentang eksistensi ibunya, namun nampaknya Daus tidak mengerti tentang apa-apa. Bahkan nama atau raut wajahnya pun Daus tidak tahu.

Ketika Daus selesai bercerita, kini giliran Putra menyambung dengan kisahnya, tapi Putra tidak pantas menceritakan kisahnya di depan bocah ini. Putra hanya seorang laki-laki pecundang yang akhirnya bersembunyi setelah memutuskan melakukan pembunuhan di Prambanan, sedangkan Daus adalah malaikat kecil yang masih bertahan di tengah kota Purwokerto. Ketika Putra tak kunjung menceritakan kisahnya, Daus mulai bingung. Apakah laki-laki dewasa di sampingnya tidak memiliki kehidupan yang pantas diceritakan?


"Ngapa sih, Mas? Ketone kok kaya gi susah banget." (Kenapa sih, Mas? Kayanya kok kaya lagi kesusahan sekali)

"Haha, cuma bingung mau cerita soal apa. Aku lebih tua, jadi lebih banyak kisah."

"Ora han bingung, Mas. Wong Allah be ora bingung pas nggawe dhewek." (Jangan bingung, Mas. Orang Allah saja tidak bingung waktu menciptakan kita)

"Nah berarti aku memang kurang beruntung, karena diciptain pas Tuhan sedang bingung. Makanya kisahku ngga sebagus kamu."

"Ohalah, Mas. Ko sih piwe? Angger ko tiba, sing salah sapa? Apa Allah sing salah? Ko mbok?" (Ohalah, Mas. Kamu sih gimana? Kalau kamu jatuh, yang salah siapa? Apa Allah yang salah? Bukannya kamu?"

"Iya ya?" kata Putra sambil menyembunyikan tawanya.

"Aja nyalahaken kadaan lah, Mas. Urip ya urip. Kabehan ditanggung dhewek." (Jangan menyalahkan keadaan lah, Mas. Hidup ya hidup. Semuanya ditanggung sendiri)


Putra kembali setelah akhirnya bocah itu lelah memandang swalayan yang sudah merenggut nyawa ayahnya. Setelah bocah itu mengayuh sepeda yang masih menumpuk koran yang belum terjual, Putra berjalan dengan arah berlawanan. Kembali ke rumah bordi* milik Bu Lastri yang sepertinya masih beroperasi. Pantas saja. Ini baru jam sepuluh malam. Haram hukumnya tamu pulang sebelum jam dua pagi. Ini lah pemikiran Putra ketika melihat beberapa mobil masih ramai terparkir.

Pak Badri sedang mendengarkan radio lawas di dapur ketika Putra baru saja pulang. Pak Badri hanya tersenyum dan menawari teh. Gelengan Putra dianggap tanda bahwa laki-laki ini ingin sendiri dan itu benar adanya. Putra berjalan hingga ke kamarnya lalu menjatuhkan diri ke kasur. Jendela yang berada tepat di sampingnya menyajikan suguhan alam berupa langit gelap dengan bintang yang cahayanya lumayan redup jika dibandingkan dengan gemerlap swalayan tadi.

Lalu Putra berpikir bahwa sajian manusia akan sangat memesona hingga dirinya akan hanyut ke dalamnya. Membuat badannya kaku dan lidahnya kelu. Sajian manusia akan membuatnya enggan pergi ke mana-mana, tapi sajian manusia akan luruh dimakan waktu. Maka alam memberikan sajiannya yang akan selalu ada sepanjang masa, meskipun bentuknya biasa saja bahkan sering dilupakan manusia. Alam memberikannya tanpa pamrih, tapi manusia membalasnya dengan perih dan manusia juga yang mengeluh bahwa dirinya sering dirundung sedih.ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang