Rintik ke-19

8 5 0
                                    


Malam ini Didit sibuk dengan beberapa panggilan dari keluarga Wijaya Kusuma dan Garya. Hal ini terkait dengan pagelaran yang akan dihadirinya. Soal kotak tadi pagi, Didit sudah tidak memikirkannya. Dia menolak pendapat anaknya tentang pengkhianat dari keluarganya sendiri. Laki-laki paruh baya itu sangat santai menerima telepon tanpa tahu betapa keras anak sulungnya berpikir soal lima biji jeruk.

Putra tidak melakukan apapun selain menatap keluar jendela, kegiatan yang selalu dilakukan ketika pikirannya kalut. Perhatiannya teralihkan ketika ada pesan masuk ke gawainya. Ratna menghubunginya dan meminta Putra untuk datang ke belakang rumahnya.


"Hah? Apa sih, ra nggenah." (Hah? Apa sih, ngga jelas)


Putra mengambil jaket dan mengendap-endap pergi ke bagian belakang rumah. Dia melewati pagar keliling dari besi dan langsung berjalan menyusuri jalan petak. Belakang rumah Putra bukan hutan, sawah, atau sungai. Hanya lahan kosong seperti padang rumput yang biasanya ramai dikunjungi biri-biri.

Di sinilah dia mendapati gadis itu, Ratna, sedang duduk di bawah pohon kersen. Lampu yang dipasang sembarang cukup menolong Putra untuk mengenali paras muda perempuan di depannya.


"Kita ngga deket. Ngapain suruh saya ke sini?" tanya Putra, lalu ikut duduk bersama Ratna di bawah lampu. Di tanah kering penuh rumput.

"Karena ngga deket makanya sering ketemu dulu." Ratna membuka maskernya dan dapat Putra dengar suara hidung Ratna.

"Kamu pilek atau habis nangis?"

"Kalau Ratna pilek, Ratna ngga akan ke sini malem-malem, Pak."

"Yah, kan bisa aja saking sayangnya sama saya, bela-belain pergi padahal lagi sakit."


Soal itu, Putra tidak salah. Iya. Bahkan jika Ratna sakit, dia tetap pergi ke rumah Putra untuk sekadar melihat gurunya. Apalagi sekarang sudah memasuki musim liburan kenaikan kelas. Dia tidak akan bertemu dengan Putra. Belum tentu juga tahun depan akan diajar laki-laki 25 tahun itu.

Sibuk dengan renungannya, Ratna tidak memerhatikan Putra yang sedari tadi mencabuti rumput di sekitar situ untuk dijadikan badongan. Terlalu malas memetik daun pohon nangka di sana, akhirnya Putra membuat badongan itu dari ilalang dan bunga kenop. Badongan yang sudah hampir jadi itu juga dihiasi kenikir yang tumbuh tidak jauh dari tempat Putra duduk.


"Barangkali kamu marah karena penolakan saya, ini badongan buat kamu," kata Putra lalu memberikan badongan itu.

"Ih, Pak! Di mana-mana kalau mau minta maaf tuh niat. Masa Ratna marah malah dikasih badongan?"

"Berisik kamu." Putra memasang paksa bedongan itu di kepala Ratna. Sedikit kebesaran, tapi masih layak digunakan.


Badongan itu menjadi saksi paling dekat di antara keduanya. Bagi Ratna badongan ini seperti tanda bahwa dia telah menjadi ratu. Yah, walaupun singgasananya jelas bukan di dalam hati Putra, dia tetap merasa bahagia. Apalagi ada hiasan bunga kenop warna merah muda dan putih. Bunga kenop sendiri merupakan bunga kesukaan Ratna. Kenapa? Karena bunga kenop memiliki nama lain bunga ratna.

Bagi Putra, dia sendiri tidak tahu kenapa menghias badongan itu menggunakan kenikir, bunga kesukaan Dhita. Apakah ini berarti kenikirnya telah menemui definisi baru? Atau hanya akal-akalan Putra menghindari masalah yang membuatnya haru? Putra diam membisuㅡmembiarkan pembaca menjadi bingung. Sebenarnya, ke mana hatinya berlabuh?



ㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca rintik dari Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang