Romansa antara Dawai dan Perih

5 2 0
                                    

#JENTERAPUTRA
Bagian dari Semangkuk Nasi Merah


Kamar seorang dara, 2018

Adalah si Ratna, anak kedua dari Sigit Wijaya Kusuma yang menarik perhatian. Rambutnya sebahu tanpa ikal. Lurus dan lembut bak beludru. Bulu matanya lentik meski tidak begitu panjang. Kata orang jawa, manise pait madu. Manis dan membuat orang lain ikut sumringah. Tidak terlalu tinggi, tapi tangannya mampu menjangkau lemari.

Pukul sebelas malam Ratna tengah merutuki dirinya di dalam kamar. Bergumam dengan cerita yang terngiang di kepalanya. Berusaha sekuat tenaga berbaur dengan kebahagiaan yang agaknya telah luntur. Badannya tergeletak begitu saja di lantai kamar dengan cahaya taman sebagai penerang. Petir dan suara hujan menjadi orkestra tunggal. Mulutnya bungkam. Di sini dia dapat mendengar orang tuanya bertengkar.


"Aku sudah bilang sama Mas! Ratna ngga mampu!"

"Lalu aku harus apa? Dia bersikeras bersekolah di Indonesia!"

"Selesai SMA, daftarkan dia langsung ke luar negeri. Bawa dia ke sekolah kedokteran milik Morgan di Jerman."

"Itu hanya akan membuatnya berontak."

"LALU APA? Kita biarkan dia membuat malu seluruh keluarga?"


Sayup-sayup terdengar rintihan dari seorang Ratna. Isakan tangis kian terdengar meski akhirnya tertutup suara hujan. Ya, apa lagi yang bisa Ratna lakukan selain menangis pada malam dan merajuk pada pilu? Seluruh keluarga Wijaya Kusuma adalah dokter. Dari kakek neneknya hingga anak-anak paman Rudi. Ibunya spesialis kandungan, Ayahnya dokter bedah umum, dan ....


"Aku sehina ini."


Bagi orang lain menjadi dokter adalah impian. Tidak ada salahnya juga. Setiap orang memiliki hak untuk mengambil keputusan. Khususnya tentang masa depan mereka, tapi tidak untuk Ratna. Tidak untuk keluarga Wijaya Kusuma. Dokter adalah satu-satunya pekerjaan di dunia. Menjadi seorang dokter adalah sebuah kewajiban. Hingga beberapa orang berkata bahwa arti Wijaya Kusuma adalah keluarga dokter.

Tentang puja-puji itu, Ratna tak tertarik. Ia lebih menyukai dawai dibandingkan harus belajar IPA. Ia lebih senang membawa kertas musik dibandingkan membawa tabel periodik. Ia ingin seni mewarnai darahnya, bukan mempelajari bagaimana darah ada di tubuhnya. Ia ingin tampil di panggung, bukan jadi dokter terbaik.


"Kamu perempuan kuat."


Suara itu kembali terdengar. Tetes air mata yang kembali jatuh membawanya kepada bayangan seseorang yang setahun lalu pernah mewarnai hidupnya. Seorang gitaris yang kini tinggal di seberang benua. Ratna ... ia merindukannya. Ratna ingin kehadirannya yang bisa mengubur kesedihan dan membangkitkan rasa bahagia.

Ada nyeri di dada yang semakin terasa kala wajah itu semakin terbayang jelas. Ia merasa tak waras kala suara laki-laki itu kini mengganggu gendang telinganya. Semakin terdengar, semakin ia merasa tak berdaya. Suara laki-laki seperti saut-menyaut dengan teriakan kedua orang tuanya dari lantai bawah. Ratna lelah. Ah! Mungkin memang ini saatnya Ratna mencuri peran Tuhan sebagai pemberi nyawa. Senyum perawan itu mengembang ketika tangannya meraih sesuatu dari bawah bantal.


"Aku lelah dan aku cuma punya kamu. Bisa bawa aku tidur untuk selama-lamanya? Jangan seperti dulu. Kamu membuatku tertidur hanya beberapa minggu."


Ratna tersenyum ke arah langit seakan-akan ingin menunjukkan pada-Nya dosa yang telah ia perbuat. Mencuri peran Tuhan dan tanpa ia sadari semua pandangan kabur. Malam semakin larut dan pikiran Ratna tambah kemarut. Mencaci kasih, menebar derita. Pada akhirnya, siapa yang akan mendengar cerita lara seorang Ratna? Siapa yang akan memberi peluk meski dirinya penuh cela? Siapa yang bisa membuatnya tersenyum di kehidupan yang penuh derita?

Kisah Ratna terdengar klasik, tapi sebenarnya sangat menarik. Ia merasa tak berguna kala dunia berteriak membutuhkannya. Jemarinya tak mampu menembus keinginan orang tuanya. Di sini siapa yang pantas bahagia? Kertas di pojok kamarnya berteriak meminta tolong pada Tuhan agar Ratna bisa bangun kembali. Agar Ratna bisa memainkan senar yang kini sedang tersiksa perih. Malam yang panjang. Tuhan menggapai pipi perawan yang basah itu. Mengusapnya dan membelainya lembut.

ㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk manusia-manusia yang sudah membaca Semangkuk Nasi Merah

Putra HandhokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang