8| Pilu

17.8K 3.5K 409
                                    

Setelah tangisan Keyla reda, Keysa segera berbisik di telinga Keyla. "Kalau kamu ngaduin aku yang dorong kamu, aku gak akan lagi mau jadi temenmu."

Keyla menatap Ibunya kemudian Dareen secara bergantian, melirik Emillio yang menundukkan kepala di dekat pintu. "Emil yang dorong aku."

Keysa tersenyum mendengarnya sementara Emillio menatap Dareen sembari menggelengkan kepala. Dareen mendekati Emillio lalu berjongkok di depan anak itu, Emil sampai memegang baju Dareen kuat. "Emil bukan anak nakal."

"Kakak tahu," balas Dareen. "Kamu marah sama Keyla makanya kamu dorong dia?"

Emillio lagi-lagi menggelengkan kepala, air mata bercucuran di matanya yang bulat itu. "Yang dorong dia itu Kak Keysa."

"Bukan aku!" balas Keysa berteriak. "Dasar anak nakal, gak ada yang mau temenan sama anak yang gak punya papa, mama kayak kamu!"

Emillio menatap Keyla yang juga tengah menatap dirinya dengan raut bersalah, Emil kemudian pergi dari sana dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan. Memang salah dirinya jika ia tak memiliki orang tua?

Anak itu duduk di pojok kamarnya sembari memeluk lutut erat. Ia terus membayangkan bagaimana bentuk Ibunya. Di luar, suara ribut terdengar membuat Emillio mengintip dari celah pintu yang terbuka.

"Bawa anak gak jelas itu pergi dari rumah ini!" bentak seorang wanita tua pada Jessika yang terdiam.

"Kamu liat, anak nakal itu sampai membuat cucuku terluka," lanjutnya.

Jessika menatap Ibunya memohon. "Ma, tenangkan dirimu."

"Tidak bisa!" balasnya dengan nada suara meninggi. Wanita dengan rambut yang sudah memutih itu mendekati kamar Emillio membuat empunya yang mengintip di balik celah pintu, gemetar hebat.

Bayangan mengerikan saat Bibi Dina memukulnya membuat air mata tak berhenti mengalir ke pipinya. Tepat setelah wanita tua itu berada di hadapannya, Emillio langsung memeluk kaki wanita itu. "Bukan Emil yang dorong, bukan Emil."

Terisak menyedihkan tetapi siapa yang akan percaya? Dia tak memiliki keluarga yang akan memihaknya. Dia hanyalah anak yang tumbuh dan bertahan dari rasa kasihan orang-orang.

Tetapi tak semua orang memiliki simpati dan rasa kasihan pada anak yang memimpikan memiliki orang tua sepertinya. Terbukti saat neneknya Keyla menarik kasar tubuh ringkihnya ke kamar mandi.

Membasahi tubuhnya yang masih memakai baju dengan lengkap hingga tubuhnya menggigil kemudian pukulan demi pukulan dari tangan wanita itu ia dapatkan di pantatnya.

Jeritan dan tangisan bercampur menjadi satu. Di luar Dareen yang merasakan sesak di dadanya mendengar itu semua menatap kosong ke depan. Sama sekali tak bisa membantu meski ingin karena menurutnya posisi Emil salah di sini.

"Mama emang terlalu sayang sama Keyla makanya dia bersikap kayak gitu," lirih Jessika. "Bukan hanya Emil, Keysa pun dipukul kalau dia ngelukain cucunya."

Wanita paruh baya itu keluar kamar membuat Dareen bangkit kemudian bergegas melihat keadaan Emil. Saat masuk, tatapannya bertemu dengan anak laki-laki yang tengah meringkuk dengan tangis sesegukan di pojok kamar mandi.

"Bukan Emil yang dorong," isak anak itu. Tubuhnya tak berhenti menggigil membuat Dareen bergegas melepaskan baju dan mengganti pakaian anak itu.

"Emil bukan anak nakal," gumamnya. "Tapi meskipun Emil gak salah sekalipun, orang-orang seneng mukul Emil kalau mereka lagi marah."

"Karena Emil gak punya Ibu, Bapak buat bantuin Emil," lanjutnya. Anak itu menarik selimut dan mencoba memejamkan mata.

Dareen tak mengerti kenapa seperti ada ribuan jarum menusuk tepat hatinya mendengar dan melihat keadaan anak ini sekarang. Dengan ragu ia mengusap lembut kepala Emillio dan menaikkan selimut anak itu. Di saat anak seusia Emil sekarang menikmati hidup dengan ceria dengan limpahan kasih sayang dari keluarga tetapi Emillio justru tak mendapatkan itu semua.

Di saat anak sesuai Emillio dikelilingi banyak mainan dan segala macam bentuk kasih sayang dari semua orang dan yang hanya mereka pikirkan adalah kesenangan mereka, Emillio justru mengalami hal sulit. Sendirian, tak punya siapa-siapa, dan menghadapi berbagai macam hinaan dari orang-orang yang memandangnya sebelah mata.

Anak itu hanya bisa menangis, menangis, dan menangis karena dia tak mengerti, kesulitan apa yang menimpanya. Rasa sakit jenis apa yang diterimanya.

Dareen mendekat lalu mendekap anak itu erat. "Tidurlah."

*

Suara tawa terdengar dari luar sementara di dalam kamar, Emillio meringkuk sendirian dengan tubuh menginggil. Rasa pusing, rasa sakit di tubuhnya, dan rasa dingin yang menyerangnya.

Siapa yang akan ia panggil jika ia sakit? Siapa yang dengan suka rela mau merawatnya?

"Ibu," lirihnya. "Ibu."

Meskipun ia tak pernah melihat, menyentuh, ataupun mendengar suaranya. Entah kenapa di keadaan seperti ini, hanya kata itu yang ingin keluar dari mulut Emil. "Ibu."

"Ibu." Dia terus menggigil, memeluk erat selimutnya dengan air mata bercucuran. "Ibu."

Namun, tetap saja tak ada yang datang untuk mengecek suhu tubuhnya. Tak ada yang datang untuk memeluk dan menenangkannya. Tak ada yang datang untuk mengobati rasa sakitnya. Tak ada yang datang untuk mengusap lembut kepalanya.

Karena Emillio terlahir untuk sendiri.

Di tempat lain, seorang wanita meringkuk di atas ranjang. Terisak memyedihkan. Bayangan saat ia tak akan bertemu anaknya lagi tak bisa membuatnya tidur tenang. Wanita itu bangkit, menghapus kasar air matanya kemudian berjalan linglung keluar Apartement. Ia bahkan mengabaikan beberapa panggilan dari manager dan tak memperdulikan lagi jadwal pemotretannya yang bisa membuat ia kehilangan kontrak kerja.

Wanita itu berjalan di pinggir jalan. Lingkaran hitam di bawah mata serta air mata yang tak berhenti bercucuran membuktikan seberapa kacaunya ia sekarang. Pandangannya mulai mengambur dan tubuhnya mendadak lemas. Wanita itu jatuh tepat ke pelukan seseorang.

"Milly," panggil Dareen menepuk-nepuk pipi Milly yang tengah berupaya mempertahankan kesadaran. Dareen yang baru pulang dari rumah Jessika dan menghentikan mobil di pinggir jalan saat melihat seorang wanita yang ia kenal berjalan sempoyongan di pinggir jalan langsung menghampiri Milly.

"Milly kenapa?"

"Emil," isak Milly. "Emil."

Milly terus menyebut nama itu sebelum akhirnya gelap menjemputnya. Ia tak sadarkan diri di pelukan Dareen yang kebingungan.

Jarang update cerita ini karena sumpah nguras emosional banget ;3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jarang update cerita ini karena sumpah nguras emosional banget ;3

Tapi, akan aku usahakan buat rajin Update mulai sekarang😊
Makasih buat kalian yang setia nunggu🔥

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang