Milly memasuki kamar Emillio saat semua orang sudah terlelap. Ia tersenyum kecil dalam ruangan yang minim penerangan itu menatap sang anak yang tidur nyenyak.
Dengan telaten wanita itu menaikkan selimut Emillio sampai sebatas dada dan bergerak membubuhi kecupan dengan ragu di kening anak itu.
Sampai saat akan menjauh, tangan Emillio mencengkram kuat pergelangan tangannya. Sangatttt kuat.
Jantung Milly berdegup kencang merasa Emillio menangkap basah kebiasaan nya setelah anak itu tinggal di rumahnya tetapi saat ia menoleh untuk melihat wajah putranya.
Emillio masih terpejam. Keringat dingin menghiasi pelipisnya dan air mata mengalir.
"Anak haram! Hina! Anak kotor! Gak tahu diri! Gak berguna! Mati saja kamu!" Sapu semakin kencang dilayangkan dan semakin terdengar keras pula suara tangisan.
Cengkraman di tangan Milly semakin menguat hingga menimbulkan rasa perih seiring dengan hembusan napas Emillio yang terdengar berat hingga perlahan saat cengkraman itu melemah, dengan tangan kanan membekap mulut mencoba meredakan isakan yang bisa keluar dari bibirnya, Milly melepaskan diri dan segera bersembunyi di balik lemari seraya mencoba meredam tangisnya sendiri.
Emillio sendiri terbangun dengan napas berhembus terburu. Seperti orang yang baru saja berlari jauh.
Anak itu menghidupkan lampu seraya mengambil segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas.
Ia kemudian terduduk lemas di lantai yang dingin seraya bersandar di tembok dekat jendela. Tatapan matanya kosong.
Milly melihat dari celah pintu lemari yang sedikit terbuka. "Apa sangat sakit?" tanyanya tanpa suara.
Emillio melihat ke perban tangannya. Luka dari pisau yang disebabkan Darko.
"Sakit," katanya berbicara sendiri. "Sampai mau mati rasanya."
"Tapi, kalau aku mati banyak orang yang akan senang." Anak itu tersenyum pahit. "Banyak orang yang menunggu kematian ku."
"Dan aku enggak sebaik itu membuat mereka yang menunggu kematian ku senang." Emillio mendongak, menatap langit-langit kamarnya. "Karenanya sesakit apa pun aku harus bertahan."
*
"Aku punya pertanyaan buat Papa sama Mama," ucap Rico saat seluruh anggota keluarga tengah menikmati sarapan.
"Rico jangan mulai deh," kata Rossa menimpali.
Rico mengabaikan dan malah menatap kedua orang tuanya serius. "Kalau aku." Melirik Emillio yang menyantap rotinya dengan tenang lalu kembali melanjutkan, "dan Emillio sama-sama dalam bahaya yang mengancam nyawa kami, Siapa yang bakal Papa dan Mama selamatkan duluan?"
Emillio berhenti mengunyah rotinya dan mengalihkan atensi ke arah kedua orang tuanya.
"Jangan mancing kamu," tegur Dareen mengabaikan pertanyaan tersebut. "Papa gak suka."
"Siapa yang bakal kalian selamatkan? Aku yang dari kecil menghabiskan seluruh waktuku bersama kalian atau dia." Menunjuk Emillio dengan dagu. "Orang yang baru Dateng di tengah-tengah kita?"
"Aku berangkat, Nek." Emillio pamit pada sang Nenek dan menyalami tangan wanita tua itu sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana. Sama sekali tak menaruh minat pada pembicaraan Rico.
Dia membawa sepeda pemberian Neneknya menyusuri jalan yang pagi itu sudah banyak kendaraan lalu lalang.
Emillio berhenti di depan sebuah gerbang. Senyumnya terukir saat melihat seorang gadis dengan senyum secerah matahari keluar dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
EMILLIO
Teen FictionEMILLIO hanyalah anak laki-laki malang yang menjadi korban kesalahan kedua orang tuanya. Author note: -Harap sedia tisu sebelum membaca✔✔ -1-10-2020 Cover by: @Defairalynn_art RANK 1 in #Fiksiremaja [12-05-2021] 1 In #Hurt [...