28| Nenek

16.9K 3.3K 959
                                    

"Sekarang, rencananya lo mau pergi ke mana?" tanya Zetta menatap Emillio dengan teduh. Angin malam membelai lembut wajah dan rambutnya.

Emillio berjalan, terlihat meringis menahan kesakitan. "Ke mana pun, yang gue gak ketemu mereka."

Zetta menarik tangan Emil. "Ke Apartemen peninggalan Kakek gue aja, kosong kok."

"Enggak. Makasih," tolak Emil tetapi bukan Zetta namanya kalau menerima jika ditolak. Gadis itu menarik tubuh lemah Emil memasuki taksi yang ia berhentikan di tepi jalan.

"Apaan sih!" Emillio memberontak tetapi Zetta menatap tajam. Karena tubuhnya yang lemah dan tak ber energi, Emil tak kuasa menolak. Lagian, ini sudah malam juga. Di keadaannya yang seperti ini, tak mungkin ia tidur di jalanan.

*

Sembari berbaring di sofa, Emillio menatap Zetta yang datang membawakan ia nampan berisi makanan. "Udah. Gue gak mau utang budi terlalu banyak. Mending lo pulang sekarang."

"Gue selama ini tinggal di sini kali," sahut Zetta membuat Emil melotot. "Kalau gue pulang ntar nyokap jemput terus guenya dibawa kabur. Gue mana mau, gak bisa jauh dari lo soalnya hhe."

Emil mendengkus kesal mendengar gadis itu, lebih menyebalkan lagi saat Zetta berkata, "jangan takut. Gue tidur di sofa, lo tidur di ranjang dan yang pasti gue gak bakal ngapa-ngapain lo apalagi ngerusak kerpejakaan lo Hihi."

"Bisa diem gak sih lo?" bentak Emil tak kuasa menahan perasaan jengkel di hatinya.

Zetta diam kemudian menyodorkan Emillio segelas teh hangat. Laki-laki itu menerima dan perlahan meminumnya.

"Orang yang paling kita percaya dan sayangi adalah orang yang berpeluang besar menyakiti," ujar Zetta. "Kita memiliki masalah yang hampir serupa, Leo. Dikecewakan dan disakiti oleh orang yang seharusnya bertugas membahagiakan kita."

"Tapi, resiko seorang anak emang begini." Zetta terus menatap ke arah Emillio. "Kalau kita ngelakuin kesalahan pasti dimarahi dan dituntut buat gak mengulangi sementara kalau orang tua yang ngelakuinnya, sebesar apa pun salahnya, kita sebagai anak tugasnya harus memaklumi."

"Gue pengecut karena gak pernah punya keberanian buat ngungkapin kekecewaan gue sama orang tua gue." Suara Zetta berubah. Nadanya bergetar. "Gue gak pernah bisa bilang sama mereka kalau gue gak suka dibandingin sama Zenna, gue gak suka terus disalahin kalau Zenna kambuh, dan gue gak suka ngeliat mereka gak harmonis."

"Gue takut kalau gue ngelawan, gue bakal makin salah di mata mereka. Gue takut dianggap durhaka cuman karena ngungkapin kekecewaan gue ya karena bagaimana pun, di mana pun orang tua itu emang selalu ngerasa bener kenapa? Mereka, orang tua selalu ngerasa benar di depan anak mereka karena mereka merasa lebih mengenal dunia dari pada kita."

Emillio menatap Zetta, tak menyangka gadis menyebalkan itu mempunyai luka yang hampir sama dengannya. Disakiti dan dikecewakan orang yang sama. Orang tua.

Laki-laki itu sama sekali tak menimpali ucapan Zetta dan kemudian memilih menatap kosong langit-langit ruangan tempatnya kini.

"Meskipun begitu, kelak gue juga bakal jadi orang tua dan semoga aja gue bisa saling memahami sama calon anak gue." Zetta kemudian tersenyum kecil.

"Lo jangan nyalahin orang tua. Gimana pun, mereka ngerawat dan ngebesarin lo sampe sekarang. Banting tulang buat menuhin semua kebutuhan dan keinginan lo." Emillio mengangkat alis. "Lo pernah denger ceramah? Natap wajah orang tua itu bisa menggugurkan dosa. Bersyukurlah orang tua lo masih hidup."

"Mau gue beliin kaca hah?" tanya Zetta spontan membuat Emil mengedikkan bahu tak peduli.

**

Zetta tengah pergi sekolah sementara Emil sendirian di apartement. Bukan takut tetapi dari semalam, sakit di kepalanya tak kunjung membaik. Sepertinya, kabur dari rumah sakit demi menghindari Dareen dan Milly bukan pilihan terbaik.

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang