50. Kebenaran

10.6K 2.4K 1.3K
                                    

Emillio melihat dari celah pintu yang terbuka, ayahnya masih di sana terduduk di tanah sambil bersandar di mobilnya. Ketika ia melihat mata pria itu terpejam, Emillio melangkah sembari membawa sehelai kain tipis, selimutnya.

Emillio mendekat dan menyelimuti ayahnya yang ia kira sudah terlelap. Nyatanya tepat saat kain tipis itu menyentuh kulit Dareen, ayahnya membuka mata. Tatapan mata mereka bertemu.

"Maafin Papa."

Lagi, Emillio mendengar kalimat itu keluar dari bibir ayahnya. Namun, kali ini berbeda sebab untuk pertama kali ia melihat ayahnya menangis sembari berucap kata yang sama berulang kali. "Maaf."

Ada banyak hal yang tak bisa Emillio jelaskan perihal perasaannya melihat mata ayahnya yang dipenuhi kesungguhan dan rasa bersalah.

"Jangan menangis," ucap Emillio sembari duduk di samping Dareen. "Om jadi gak terlihat keren lagi di mataku."

Dareen menghapus air mata sembari mengeluarkan tawa kecil mendengar lelucon putranya.

"Setiap melihatmu." Dareen menunjuk dadanya. "Di sini sakit."

"Papa tersiksa setiap menatap matamu, yang ada di kepala Papa hanya bayangan tentang bagaimana menderitanya kamu selama ini," ungkap Dareen. "Hal yang lebih menyakitkan adalah, Papa sadar kata maaf tidak bisa menebus semua nya."

Hening beberapa saat sampai Emillio kembali membuka suara.

"Aku melihat anak-anak seusiaku yang mendapat perhatian besar orang tuanya dan dianggap berharga keluarganya, aku membayangkan diriku berada di posisi mereka."

Emillio menerawang jauh ke depan dan Dareen setia memperhatikan dari samping.

"Itu membahagiakan," lanjut Emillio tersenyum.

"Emillio!" teriak Milly berlari menghampiri anaknya. Wanita itu menarik tangan Emillio ke meja makan. "Sarapan dulu!"

Emillio menunjuk arloji yang terpasang apik di pergelangan tangan kirinya. "Aku udah telat, Ma."

"Mama gak mau tahu, kalau kamu gak sara-"

Emillio mengambil sepotong roti dan memasukkan ke mulutnya dan dengan tergesa meneguk sampai tandas segelas susu yang disediakan di atas meja makan.

Setelah selesai, anak itu mencium pipi ibunya dan langsung berlari keluar tanpa mendengar kelanjutan ucapan ibunya.

"Emillio!" teriak Milly kesal. "Aish bocah itu."

Emillio memandang Dareen dengan sendu. "Setiap pagi selalu ada keributan."

Ia kembali memandang jauh ke depan. "Dimarahi saat membuat kesalahan, dimasakkan makanan kesukaan, dan dikhawatirkan saat terluka. Menurutmu, apa mimpiku terlalu besar?"

Dareen tersenyum, menahan mati-matian air mata yang kembali ingin jatuh.

"Tidak," katanya bergetar.

"Aku terlalu memikirkan semua hal yang membuat hatiku semakin sakit beberapa hari terakhir dan aku mengobatinya dengan bayangan itu semua. Aku merasa senang." Emillio menundukkan kepalanya dalam, suaranya semakin memelan. "Meskipun aku tahu itu semua gak nyata."

"Papa sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada ibumu da-"

"Dia diancam," potong Emillio mengangkat wajahnya menatap Dareen. "Oleh ayah kandungnya Rico untuk membenci dan membuangku."

Dareen meremat kuat kedua bahu Emillio. "Lalu kenapa kamu baru bilang sekarang hah?"

Emilio menepis tangan Dareen sembari memalingkan wajah. "Selama ini, setiap melihatmu, hanya ada rasa benci di hatiku. Bagiamana bisa aku bicara padamu?"

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang