3| Bertemu lagi

22.4K 4.4K 802
                                    

Di balik pintu reot tempat yang ditingalinya, Emillio menatap dengan binar mata redup Dika yang tengah bersorak senang sembari menaiki mobil-mobilan baru yang dibelikan orang tuanya. Tak hanya itu, anak seusia Emil itu juga di tangan kanannya terdapat satu cup ice cream yang membuat Emillio meneguk liur susah payah melihat semuanya.

"Bagaimana rasanya?" gumam Emil pelan.  Tangan mungilnya saling bertaut satu sama lain. "Pasti lebih manis dari kecap."

Anak laki-laki itu memilih bangkit kemudian berjalan mendekati Bibi Dina yang terlihat sumringah melihat kebersamaan suami dan anaknya.

"Bibi Dina! Emil juga mau itu," tunjuk Emil pada Ice Cream yang dipegang Dika.

Namun, bukannya direspon, tepisan kasar lah yang justru ia dapatkan hingga membuat tubuh kecilnya terjatuh. Emil tak menyerah, tangan kecilnya menarik-narik ujung baju yang dikenakan Bibi Dina.

"Emil nyicip dikit, Bibi Dina." Anak itu menatap penuh permohonan.

Kemudian matanya berubah berbinar saat tiba-tiba Dika datang menghampirinya sembari menyodorkan Ice cream, miliknya. Emillio mengucapkan terima kasih sementara Dika berlalu masuk ke dalam rumah digendong Ayahnya.

Bibi Dina hanya menghela kasar seraya berjalan memasuki rumah dan menutup pintu kasar. Seperti biasa, membiarkan Emillio di luar sendirian.

"Besok kalau Emil punya Ibu sama Ayah pasti Emil dibeliin banyak," kata Emillio sembari menatap sedih Ice cream-nya yang habis.

Anak laki-laki itu kemudian menatap berbinar mobil-mobilan berukuran lebih besar dari tubuh kecilnya yang terparkir di pekarangan rumah. Dengan segera dan tawa senangnya, ia mendekat lantas membawa mobil-mobilan itu memasuki rumah kecil tempatnya karena berhubung gerimis berjatuhan membasahi bumi.

"Brum brum." Emillio tak pernah merasa sebahagia sekarang, ia tertawa keras sembari berbicara sendiri dengan kedua tangan mungil memainkan stir mobil-mobilan milik Dika yang sekarang menangis keras di luar.

"Ke sana. Brumm, brumm!" serunya senang sampai tiba-tiba pintu rumah kecilnya terbuka kasar dari luar.

"Itu mainan Dika," tunjuk Dika pada mobilnya membuat kening Emillio berkerut. Anak kecil itu turun dari mobil-mobilan itu kemudian berjalan cepat menghampiri Dika.

Emillio memegang kedua bahu Dika sembari menatap dengan senyum lebarnya. "Emil pinjam bentar, yaaa. Kan Dika punya banyak mainan di rumah."

Emillio menggelengkan kepala membuat rambut gondrongnya bergoyangan. "Sementara Emil gak punya mainan satu pun."

Dika berkacak pinggang dengan tatapan tajam kemudian berjalan menyeret mobil-mobilannya ke luar. Namun, Emillio menghentikannya. "Emil pinjem!"

"Enggak, aku juga mau main," balas Dika. Tangannya mendorong tubuh Emillio yang langsung terjatuh.

"Kakek ustadz bilang kita gak boleh pelit tapi Dika pelit, Emil gak suka. Dika juga nakal, Emil gak mau lagi temenan sama Dika," kata Emillio sembari bangkit dan sontak ucapannya membuat tangis Dika pecah.

Dika menangis sangat keras sembari memanggil-manggil ibunya. "IBU! IBU! EMIL NAKAL GAK MAU TEMENAN SAMA AKU, IBU!"

Dina datang dengan napas ngos-ngosan. Ia menatap anaknya yang masih menangis sesegukan dengan tubuh gemetar hebat lalu tatapannya beralih pada Emillio yang mendongak, menatap dirinyaa dengan binar mata polos setelah membuat Dika menangis. Anak itu menunggu reaksinya dengan tampang tak berdosa.

Entah datang dari mana, rasa kesal dan benci serta jijik Dina bercampur menjadi satu. Setelah berhasil menenangkan Dika anaknya, ia menendang tubuh kecil Emillio keras membuat anak itu terjungkal ke belakang.

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang