15| Perasaan hangat

17.3K 3.6K 3.4K
                                    

Zetta masuk rumah dengan tatapan hampa, wanita setengah baya yang masih mengenakan celemek di tubuhnya menyambut Zetta dengan tanya.

"Apa non baik-baik aja?" tanya wanita itu khawatir pasalnya tak biasanya anak itu pulang dengan keadaan kacau seperti di depannya. Bekas air mata di pipi dan kotoran di bajunya.

Zetta tak menjawab. Pandangannya justru mengarah ke anak tangga. Tempat dua orang paruh baya tengah bertengkar. Saling menyalahkan.

"Ini semua gara-gara kamu, kalau kamu gak terus sibuk kerja dan selingkuh, anak kamu gak bakal bikin masalah kayak gitu!" geram wanita itu_ Ibunya Zetta dengan tatapan tajam.

"Seharusnya kamu liat diri kamu sendiri, apa yang kamu lakukan sebagai ibunya? Pernah enggak kamu becus perhatiin dia?"

Seorang gadis yang memakai baju tidur kebesaran dengan wajah pucat pasi turun, sesekali terbatuk mengeluarkan darah. "Mi, Pi, sudah. Apa kalian gak malu bertengkar terus?"

"Diam kamu Zenna!" bentak sang Ibu kasar. "Kamu juga, seharusnya kamu bisa ngajarin adik kembarmu supaya gak terus bikin ulah. Kalian sama aja sama Ayah kalian! Tukang bikin masalah!"

Zetta berlari menaiki anak tangga lalu menarik kembarannya untuk pergi dari sana saat tadi melihat ayahnya mengangkat tangannya untuk menampar wajah Ibu mereka.

Di pelukan sang Kakak, Zetta menangis. Selalu seperti itu. Adegan tak harmonis dari kedua orang tua mereka selalu terjadi nyaris setiap hari.

"Kamu udah makan?" tanya Zenna melepas pelukan sang adik. Tangis Zetta mulai reda. "Stok buah-buahan di rumah udah habis. Aku harus keluar sebentar buat beli."

"Biar aku, Zen." Zetta menatap Kakaknya yang tengah berganti pakaian. "Kamu gak boleh keluar rumah."

"Meskipun aku sekarat tapi, gak selamanya aku bisa terus bergantung sama kamu." Zenna mengusap lembut kepala adiknya penuh sayang. "Tutup telingamu. Jangan terlalu dengerin orang tua kita. Tunggu aku di sini."

Zenna terus menatap keluar jendela mobil. Tersenyum kecil saat menatap pohon-pohon rindang yang ditanam di pinggir jalan terlihat mengikutinya saat ia melewatinya.

Namun, senyum Zenna luntur saat Pak Budi tiba-tiba menghentikan laju mobil.

"Ada apa, Pak?" tanya Zenna bingung.

Pak Budi terlihat lebih bingung dari Zenna. "Di depan kita ada anak cowok yang jatuh. Apa sebaiknya kita lewati saja, Non?"

Pak Budi menyembunyikan klakson, berharap si anak laki-laki yang meringis di depan pergi dari hadapan mobilnya karena menghalau jalan mereka.

"Orang terkena musibah itu bukan ditinggalkan tapi ditolong," kata Zenna lembut seraya membuka pintu mobil dengan pelan. Gadis dengan wajah pucat pasi itu turun dan sedikit berlari menghampiri anak laki-laki yang tengah kesakitan itu.

"Kamu baik-baik aja? Apa perlu aku bawa ke rumah sakit?" tanya Zenna khawatir.

Anak laki-laki yang diajak berbicara mengangkat wajahnya. Sejenak, membuat Zenna terpana melihat parasnya. Laki-laki itu berupaya bangkit, menyeret kakinya yang terluka cukup parah dan ketika ia kehilangan keseimbangan, Zenna memegangnya.

"Jangan sentuh gue cewek jahat!" bentak Emillio kasar membuat Zenna terkejut melihat tatapan penuh benci itu terlontar ke arahnya.

"Ka-mu kesakitan," lirih Zenna membuat Emillio tersenyum pahit.

"Cewek gak punya hati, licik, dan kejam kayak lo ngerti arti dari rasa sakit?" tanya Emillio pelan. Berupaya melangkahkan kaki pergi sekuat tenaga tetapi lengan tangannya ditahan.

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang