Dingin, gelap, dan menyesakkan. Begitulah yang Zetta rasakan saat dia lebih memilih untuk menyerah dengan keadaan. Nekat melompat ke danau yang dalam.
Dia telah kalah, tak punya lagi harapan, dan tak lagi punya tujuan. Zetta tak lagi berpikir bagaimana untuk menyembuhkan semua luka di hatinya, ia hanya ingin mengakhirinya. Sama seperti kebersamaan dan keharmonisan keluarganya yang berakhir.
Namun, ketika ia tenggelam dalam kegelapan yang membuat dadanya seperti terhimpit karena rasa sesak, tiba-tiba sebuah tangan menggenggam tangannya lalu menarik tubuhnya ke permukaan air.
Tenaga Zetta terkuras habis tetapi dengan pandangan yang memburam ia masih bisa melihat, sosok yang selama ini ia caci, hina, dan benci membawanya keluar dari air dingin, gelap, dan menyesakkan dada itu.
Malam sudah sangat larut ketika Zetta membuka mata, terbatuk mengeluarkan air sangat banyak dari mulut. Tubuhnya yang terasa dingin berubah hangat. Matanya menangkap kobaran api menyala di dekat ia terbaring dengan Leo duduk tak jauh darinya sembari menatap kosong.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, ia bingung sama perasaannya sendiri. Entah harus berterima kasih karena laki-laki itu sudah menyelamatkannya dari tempat yang dingin dan gelap atau harus berteriak marah karena Leo menggagalkan rencana mengakhiri rasa sakit yang akan ia lakukan.
"Leo." Pada akhirnya, ia memilih memberanikan diri angkat suara. "Gue emang selemah itu."
Zetta memandang laki-laki itu dalam. Keadaannya hampir serupa dengan dirinya, dari ujung kepala hingga kaki semua basah.
"Kalau lo gak bisa sayang sama diri lo sendiri, gimana orang lain bisa sayang sama lo?" Emillio menatap menusuk retina mata Zetta.
"Gue gak punya pilihan lain. Semua orang yang gue sayang satu persatu pergi ninggalin gue," balas Zetta mulai terisak. "Satu pun gak ada yang peduli sama gue."
Hening. Mereka sama-sama menatap ke arah api yang masih berkobar.
"Lo enggak sendiri."
Zetta melihat ke arah Emillio yang tersenyum kecil. Hatinya perlahan menghangat melihat senyum itu.
Namun, ada yang berbeda dari laki-laki di hadapannya ini. Sedari tadi tatapan matanya terlihat hampa membuat Zetta sadar kalau dirinya bukanlah satu-satunya yang terluka di sana.
Perlahan, ia mendekat ke arah Emillio yang masih saja menatap kosong pada tumpukan kayu yang terbakar. Zetta meraih tangan kanan Emil, menyatukan jari jemari mereka membuat rasa dingin yang menyengat kulit berubah hangat. "Kita masih punya harapan buat bahagia 'kan?"
*
Dareen kacau. Semalaman tak tidur tenang sebab sang putra semata wayang entah di mana keberadaanya.
Emillio tak pulang dan sumpah demi apa pun di dunia ini, Dareen tidak pernah setakut sekarang. Dia mengemudikan mobilnya kencang sembari sesekali msnatap ke samping kanan dan kiri sisi jalan berharap sang anak tengah berjalan di sana namun sayangnya nihil.
Salah Dareen juga yang terlalu sibuk tenggelam sama rasa bersalahnya sampai lupa memperhatikan hal kecil seperti memberikan anak itu ponsel supaya ia bisa hubungi dalam keadaan genting seperti sekarang.
Suara ponselnya berbunyi membuat Dareen menghentikan laju mobil, berharap panggilan masuk dari salah satu bawahannya yang memberi kabar tentang keberadaan Emillio tetapi nama sang istri tercinta lah terpampang di layar.
"Kamu lembur?" tanya Milly dengan suara serak di seberang sana.
"Aku pulang kalau semua urusan selesai. Kamu gak usah tunggu aku, tidur aja duluan."
KAMU SEDANG MEMBACA
EMILLIO
Ficção AdolescenteEMILLIO hanyalah anak laki-laki malang yang menjadi korban kesalahan kedua orang tuanya. Author note: -Harap sedia tisu sebelum membaca✔✔ -1-10-2020 Cover by: @Defairalynn_art RANK 1 in #Fiksiremaja [12-05-2021] 1 In #Hurt [...