52. Pancingan

11.3K 2.6K 1.7K
                                    

Emillio ingin berdamai dengan masa lalu dan memulai hidup baru tanpa mau teringat dengan luka lama tetapi, apakah semua itu hanya bisa dilakukan dengan pindah ke lingkungan baru?

Tiga hari yang lalu, neneknya datang dan berkata ingin membawanya ke luar negeri supaya ia bisa melupakan semuanya dengan tidak bertemu orang-orang yang menjadi alasannya terluka.

"Nenek sudah memberitahu kedua orang tuamu, mereka menyerahkan semua keputusan di tanganmu. Sayang ... sebesar apa pun kesalahan ayahmu di masa lalu, ketahuilah sekarang dia benar-benar sangat menyayangimu. Beberapa waktu terakhir, dia sibuk mencari cara untuk merebut perhatianmu dan menangis tak henti di depan nenek saat kamu mau menerima hadiah darinya. Dia menangis seperti anak kecil."

Mungkin memang cara itu adalah jalan terbaik untuk semuanya. Kemarin, Emillio menghubungi neneknya dan menyetujui ajakan wanita itu.

Tanpa sepengetahuan Zetta.

Karena itu dari tadi menghabiskan waktu bersama Zetta, Emillio merasa bersalah dan memberi kode kalau ia akan pergi.

Emillio terlalu pengecut untuk jujur karena tak mau melihat binar mata Zetta redup. Bagaimana pun, semangatnya datang dari senyum lebar Zetta selama ini.

Laki-laki itu terus memandang dalam diam Zetta yang tersenyum senang sedang membuat banyak gelembung di sekitarnya.

Gadis itu berlari menghampirinya. "Bahagia banget hari ini sampai rahang kaku dan perut sakit karena kebanyakan ketawa."

Emillio membukakan sebotol minuman lalu menyerahkannya pada kekasihnya.

"Jangan terlalu banyak ketawa, Ta takutnya ntar kamu banyak nangis."

Emillio menyeletuk yang ditanggapi tawa oleh Zetta. "Ntar malam aku ulang tahun loh, hari paling spesial dalam hidup, anti mewek-mewek dong."

"Karena kalau aku sama Zenna ultah tuh Papi sama Mami usaha banget bikin apa yang kami mau dan buat kami bahagia. Sekarang bahagianya akan jadi berlipat ganda karena nanti akan jadi ulang tahun pertama aku ngerayainnya pas aku udah punya kamu, jantungku dari sekarang sampai gak berhenti berdebar."

Emillio tersenyum senang melihat kekasihnya tak berhenti berceloteh di sampingnya.

Ia semakin tak tega mengatakan yang sebenarnya.

"Oh iya, Leo mau ngasih aku kado apa?"

Emillio berpikir sejenak. "Emang perlu?"

"Yak!" Zetta cemberut.

"Pastinya kado yang gak bisa ditebak oleh siapa pun," ucap Emillio semangat

Zetta mengedip beberapa kali. "Beri bocoran dikit aja."

Emillio menggeleng, Zetta terus merengek sepanjang perjalanan.

*

Milly tak sedikitpun mau beranjak meninggalkan Rico yang terbaring lemah di depannya. Mata wanita itu sembab karena tak berhenti menangis sedari tadi.

Melihat darah begitu banyak keluar dari kepala putranya membuat tubuhnya bergetar hebat sampai sekarang bahkan setelah Rico sudah ditangani oleh dokter.

"Maafin, Mama," isaknya di dalam ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan itu.

Jika bisa, biar ia saja yang menggantikan putranya.

"Mama gak bisa liat kamu kayak gini. Sayang ... Bangun," lirihnya.

"Maafin Mama karena selama ini suka banding-bandingin kamu. Maafin Mama yang udah jadi ibu yang buruk buat kamu, jangan hukum Mama kayak gini, Rico ...," ujarnya sembari menghapus air mata yang tak henti jatuh mengaliri pipinya.

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang