35| Jalan pikiran Leo

11.4K 2.7K 662
                                    

Emillio melangkahkan kaki di jalanan yang cukup ramai dengan perasaan kacau. Namun, ditengah luka yang hatinya rasakan ia terkejut melihat seorang gadis yang amat ia kenal tak jauh dari tempatnya tengah berdebat dengan seorang anak kecil?

"Bocah tengik sialan ini belum tahu Zetta rupanya," kata gadis itu berkacak pinggang.

Anak perempuan yang rambutnya diikat dua menatap tak kalah tajam. "Emangnya Kakak pikir aku takut sama Kakak?"

"Woah nantangin." Zetta menunjukkan otot lengannya yang tak terbentuk. "Serahin gulalinya gak sama gue!"

"Enggak mau!"

Itu adalah gulali stok terakhir dari pedagang kesukaan Zetta tetapi anak kecil ini malah lebih dulu membelinya dan itu membuatnya tak terima.

Zetta merebut gulali yang dipeluk erat pemiliknya. Terjadi adegan perebutan gulali. Si anak kecil mulai menangis meraung. "Bapak! Bapak ada orang gila gangguin aku!"

"Lo pikir gue takut? Bocah tengil, Sono panggil keluarga Lo sekampung."

Emillio tidak bisa tertawa di keadaan seperti ini, ia malah berlari meraih tubuh Zetta dan mengangkat nya seperti karung beras saat melihat bapak-bapak botak dan berotot datang dengan mata melotot berteriak murka sebagai ayah dari anak kecil yang berdebat dengan Zetta lalu membawa kabur gadis itu.

"Gulali gue!" raung Zetta.

*

Ada yang lebih menyedihkan bagi Zetta dari sekadar kehilangan gulalinya. Yaitu, tatapan bibit unggulnya Om Dareen tidak sehangat semalam.

Tetapi karena ia memang tipe gadis yang tak suka keheningan, dia dengan ragu dan pelan bertanya, "Lo baik-baik aja 'kan?"

"Kenapa?"

"Kebiasaan Leo kalau ditanya jawabnya pakek pertanyaan," gerutu gadis itu sebal.

Hening. Zetta terus berusaha menyamai langkah lebar laki-laki bertubuh tinggi itu sesekali mendongak untuk melihat wajahnya.

Melihat pipi Emillio memerah seperti bekas tamparan dan tatapan hampa laki-laki itu, Zetta berdehem. "Gue tahu Lo kuat, mandiri, dan selalu bisa nyelesein semua masalah Lo sendiri. Tapi, gak selamanya Lo bisa pendam semua perasaan Lo."

Tidak ada sahutan. Emillio layaknya tubuh yang ditinggalkan jiwanya. Terus berjalan tak tentu arah dengan tatapan kosong.

"Ada kalanya Lo butuh wadah buat tumpahin semuanya lalu bakal ngerasa ringan," lanjut Zetta. "Dan gue selalu siap kapan pun Lo butuh sandaran Leo."

"Sebentar lagi hujan, sebaiknya Lo pulang sekarang." Emillio malah berjalan meninggalkan Zetta. Tanpa menatap gadis itu.

Zetta terdiam di jalanan yang lenggang kendaraan. Perlahan, gerimis mulai berjatuhan. Bukannya menuruti ucapan Emillio, ia malah sedikit berlari untuk menarik kasar tangan Emillio untuk berbalik menatap dirinya. "Apa sesulit itu Lo buka diri sama orang lain? Gimana gue bisa bantu Lo kalau Lo sendiri gak ngijinin gue buat tahu sedikit aja apa yang Lo rasain! Sampai kapan Lo terus diam dan mendam semuanya?"

"Lo bukan siapa-siapa gue," balas Emillio dengan napas berhembus terburu, berusaha tak terpancing emosi sedikut saja. "Dan Lo gak berhak ikut campur urusan gue!"

Semesta seakan mendukung. Langit bergemuruh dan hujan mulai deras turun saat dengan lantang Zetta berteriak, "gue kayak gini karena gue peduli sama lo!"

Dibalas teriakan pula oleh Emillio, "dan gue mulai benci dikasihani!"

Keduanya sama-sama meninggikan suara, saling menatap dengan tajam sampai Emillio memutuskan kontak mata mereka. Sejenak, hanya terdengar suara air yang berjatuhan membasahi bumi sampai Emillio membuka suara kembali.

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang