Prolog

25.8K 1K 10
                                    

"Astaghfirullah, lo berdosa banget gigitin tangan gue! Lepas!" Gia mendorong wajah Cinta dengan kasar, sampai pemiliknya terjungkal ke belakang dari bangku kayu yang semula ia duduki.

"Gia, gue lapar!" rengek gadis itu sambil bangkit, mengusap pantat sebentar sebelum duduk lagi.

"Gue tahu, kalo lo udah menjelma jadi kanibal begini, berarti lo belum dikirimi uang jajan sama orang tua lo." Gia mengucap acuh tak acuh, lebih peduli mengukir maskaranya ketimbang penderitaan sahabatnya.

Leher Cinta terkulai seakan tidak memiliki tulang, ia sandarkan kepala ke meja kayu dan ujungnya ia gigit. Andai ia rayap, tidak perlu lagi ia membutuhkan uang. Cuma mengandalkan pencernaan selulosanya yang keren, ia bisa hidup kenyang memakan kayu.

"Ajakin gue ke kondangan."

"Gak, yang ada lo malu-maluin!"

"Gue cuma butuh makan!"

"Gak tetap gak! Gue gak mau acara nikahan sepupu gue kacau karena lo."

Terakhir kali Gia mengajak Cinta ke kondangan, mereka diusir kamtibnas karena Cinta sudah menghabiskan jatah untuk sepuluh piring tamu. Kapok, gak lagi-lagi mengajak Cinta ke acara nikahan mana pun.

Gia bangkit setelah dandanannya selesai. Ia meninggalkan dua ratus ribu di depan Cinta. "Berhenti menggigit meja. Gue cuma punya uang segitu. Setidaknya itu bisa mencukupi perut lo sampai orang tua lo kirim uang."

Cinta nyengir. Seketika menegakkan leher dan mengantongi harta berharga tersebut sebelum angin September menerbangkannya.

"Gia lo emang malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan gue dari krisis moneter. Gue janji akan ganti ...."

"Gak usah janji, kalau setiap ada uang lo ingkar janji!"

Hehe!!!

Gia sudah kebal dengan cengengesan itu yang muncul setiap disindir halus. Bahkan jika Gia menghinanya dengan umpatan kasar, ia jamin Cinta tidak akan tersinggung. Karena tidak ada kata tersebut di kamus Cinta. Yang ada muka tembok yang selalu ia bawa ke mana-mana sepanjang hidupnya.

"Gih, cari kerja. Lumayan buat tambah-tambah uang jajan. Daripada mengandalkan uang orang tua yang gak seberapa?"

"Lo bener! Kenapa lo gak bilang dari dulu!"

Gia menggeram. "Perasaan gue udah nasihati lo berkali-kali! Lonya aja yang kelewat oon."

"Baiklah! Gue akan cari kerja hari ini!" Berbekal semangat kepalan tangan, Cinta berlari keluar kampus yang siang itu tidak ada jadwal kelas lagi.

"Eh, busyet!" Gia heran ke mana gadis sengsara itu pergi? Kini yang ia lihat Cinta yang menjelma menjadi gadis penuh semangat yang jarang ia tunjukkan kalau bukan keinginan sendiri.

***

"Apa Zahra bikin ulah lagi?"

Adrian memijit pangkal hidungnya. Senewen mendengar guru Zahra melaporkan bahwa anaknya sudah menarik celana dalam temannya sampai menangis.

"Baik, saya akan menasihati Zahra. Sekali lagi saya sebagai orang tua meminta maaf."

Pria tiga puluh tahun itu menutup telepon. Humburger yang sebelumnya ia makan dibiarkan tanpa selera. Dalam satu bulan sudah ada sepuluh kasus kejailan Zahra di sekolah. Kesepuluhnya memancing kemarahan orang tua korban. Mereka tidak bisa tinggal diam dan menuntut agar Zahra dikeluarkan dari TK.

Sebagai orang tua yang juga seorang direktur. Sulit untuk membagi waktu sepenuhnya untuk Zahra. Ada kalanya ia melewatkan perkembangan Zahra dan lebih mementingkan pekerjaan. Sekarang, ia menyesal merasa sudah menjadi orang tua gagal setelah mendengar keluhan-keluhan para orang tua.

Sopir, sekaligus asisten Adrian, di belakang kemudi, melirik simpati. "Apa Bapak tidak sebaiknya mencari ibu bagi Nona Zahra."

Adrian berhenti memijit hidungnya dan menatap bayangan sopirnya di spion. Ibu sekaligus istri? Adrian pernah memikirkannya. Mudah baginya untuk menemukan wanita-wanita yang bagai buih di sekitarnya. Mereka yang bergerak aktif mencari perhatian dengan seluruh pesona mereka, tapi tak satu pun yang sreg di hati Adrian. Terlebih anak semata wayangnya yang tidak suka ayahnya dekat-dekat dengan wanita lain. Pada akhirnya Adrian cuma menyikapi dengan dingin saja.

"Tolong kamu carikan baby sitter untuk Zahra."

"Tapi, Pak. Sudah dua baby sitter dalam sebulan dan semuanya babak belur. Saya tidak yakin Nona Zahra akan suka."

Adrian mengersah lelah. Bergonta-ganti baby sitter tidak satu pun yang bertahan lama. Zahra tidak suka diasuh oleh orang asing, ia akan melawan tak peduli nanti pengasuhnya mengidap trauma setelah mengasuh anak usia enam tahun.

Demi Tuhan! Zahra hanyalah gadis kecil. Dari luar ia tampak menggemaskan dan lucu, tidak akan ada yang berpikir gadis itu membawa bahaya, kecuali kalau sudah mengusik dirinya. Percayalah lebih baik menjauh segera, Zahra tak akan segan melemparnya dengan benda apa pun.

"Carikan saja. Kali ini tawarkan gaji empat kali lipat dari sebelumnya."

"Baik, Pak."

"Tepikan mobilnya, saya mau buang humburger ini."

Asisten tersebut mengangguk. Begitu menemukan tong sampah sekitar beberapa puluh meter ke depan, laju mobil memelan hingga berhenti.

Adrian keluar. Membenarkan sebentar tuxedonya sebelum menjangkau tong sampah berwarna hijau dari ketiga tong sampah yang berderet itu.

Sebelum ia membuang humburger beserta bungkus kertasnya, seseorang lebih dulu merebutnya. Adrian tercengang dan ia menoleh untuk mendapati seorang gadis kucel balik melototi Adrian.

"Hei, makanan tidak boleh dibuang sembarangan. Mubazir, tauk. Temannya setan. Sini buat aku aja!"

Begitu makanan itu berpindah tangan, gadis antah berantah itu mengendus isinya. Menjilatnya dan mengangguk. "Masih enak!" pekiknya kesenangan.

Sebelum pergi, ia mengucap terima kasih dan melangkah pergi. Adrian menancapkan matanya pada punggung itu yang melompat-lompat ringan sambil memakan bekas humburger-nya. Adrian mengernyit, tidak menyangka akan menemukan manusia langka anti jijik. Perempuan muda lagi. Apa dia pengemis? Namun, penampilannya tidak compang-camping. Mungkin depresi.

"Apa dunia memang sudah benar-benar gila?" Adrian menggeleng pelan dan menggumam lagi sebelum kembali ke mobil. "Kasihan, mana masih muda lagi."

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang