12

10.1K 591 9
                                    

Adrian tidak menyangkal, separuh konsentrasinya tertinggal di rumah. Memikirkan anaknya berada di tangan Cinta, menumbuhkan ketar-ketir.

Peringatannya sebelum pergi, tidak menjamin gadis belasan tahun itu patuh. Barangkali sekarang gadis itu sedang berbuat hal aneh kepada anaknya.

Astaga! Tidak habis pikir, apa pun yang berhubungan dengan Cinta, anehnya tidak lepas dari prasangka buruk. Entah kenapa Adrian bisa begitu, padahal ia bukan pria yang mudah menilai buruk orang. Hanya saja Cinta lain perkara.

Kunjungan pabriknya selesai hingga malam. Ia menyetir sendiri pulang ke rumah.

Pak Rahman, tukang kebun merangkap satpam rumah, membuka gerbang begitu majikannya membunyikan klakson.

Gerbang itu menelan Volvo keluaran terbaru yang ditumpangi Adrian. Urung memarkirkan mobil ke carport saat ia memiliki pertanyaan yang mendesak.

"Pak, Rahman?" Pria di awal lima puluh tahun itu mendekat, melongok jendela kemudi.

"Zahra bagaimana, apakah dia baik-baik saja bersama Cinta?"

"Seharian ini, Neng Cinta dan Non Zahra membuat kue, Mas. Bapak, sama lainnya bahkan Nyonya juga diajak nyicip brownis buatan Neng Cinta, beuh ...." Jempol keriputnya teracung. "Mantap! Enak banget!"

"Apa Ibu menginap?"

"Nggak, Mas."

"Makasih, Pak."

Mobil pun ia kendarai menuju carport di samping halaman rumah. Pantofelnya melangkah tergesa memasuki rumah. Lengang menyambut di ruang tamu. Keinginan bertemu Zahra melupakan lelah, menunda harusnya ia membersihkan diri dulu.

Bi Lastri ada di dapur, sedang mencuci piring bekas makan malam. Adrian menghampiri untuk menanyakan keberadaan Zahra.

"Setelah makan malam, Non Zahra dan Neng Cinta naik ke kamar, Mas. Belajar."

Adrian membuka lemari pendingin, dahaga mengeringkan tenggorokan.

"Mas, mau Bibi buatkan kopi?"

"Tidak usah, Bi. Saya minum air dingin saja."

Adrian mengambil gelas dan ia menuangkan isi botol. Minum sambil duduk.

"Apa Mas lapar? Bibi siapkan makan malam kalau begitu."

"Nanti saya siapkan sendiri, Bi."

Hal-hal kecil seperti makan, Adrian lakukan sendiri. Dia tidak merasa menjadi raja untuk rumahnya sendiri dan mengandalkan tenaga tua para pembantu yang sudah dianggap saudara untuk melayani kebutuhan pribadi yang masih bisa ia lakukan sendiri, tidaklah bijak.

"Tadi siang seru, Mas. Non Zahra bantu Neng Cinta buat brownis. Sempat perang tepung juga tadi yang bikin lama di dapur daripada buat brownisnya. Dapur jadi berantakan banget, tapi ada Neng Cinta yang bantu ngepel. Bahkan, dia juga bantu Bi Sum beres-beres rumah. Sempet bantu Pak Rahman juga nguras kolam ikan. Neng Cinta itu orangnya keren, Mas. Bisa bikin Non Zahra senyum terus. Bibi bersyukur ada Neng Cinta yang bisa bikin Non Zahra bahagia. Eh, Mas mau cobain brownisnya? Non Zahra sudah bikinkan khusus untuk Mas Adri."

Bi Lastri mengeluarkan brownis terlindungi kotak plastik yang tersimpan di kabinet. Membawanya kehadapan Adrian. Tulisan sangat amatir terbuat dari coklat putih eksis melekat di permukaan brownis coklat bulat gemuk, begitu Adri buka penutupnya.

Zahra ❤️ Ayah.

Tidak masalah mau seburuk apa hiasan di atasnya, asal yang membuat Zahra, Adrian akan senang hati menerima. Terharu pasti, sampai tak tega ia hancurkan. Sayang, bukan barang awet. Tidak bisa diabadikan dalam kotak kaca. Supaya Adri bisa pajang selamanya sebagai penyemangat hari.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang