21

9K 584 19
                                    


Gia dan Juna menanti dalam resah di luar ruangan rektorat. Menunggu Adrian keluar membawa berita gembira.

Menit serasa seabad. Begitu Adrian meninggalkan ruangan tersebut, kemunculannya diberondong desakan tanya.

"Gimana, Pak?" tanya Gia.

"Cinta bisa kuliah lagi besok."

Langsung tubuh tegang Gia melemas. Kalau tak disangga tembok, sudah ambruk dia dihantam kelegaan berton-ton.

"Terima kasih, Pak sudah membantu. Tanpa Bapak mungkin Cinta membiarkan dirinya di-DO untuk kasus yang tidak dia lakukan." Juna mengucap sungkan.

"Kebetulan Pak Kus kenalan saya, masalah ini jadi cepat selesai."

Masih hangat terngiang beberapa saat di dalam, Pak Kus membeberkan sosok Cinta yang cerdas, yang berhasil memperoleh beasiswa penuh. Selain cerdas, hidup sebatang kara jadi faktor kuat dilirik pemerintah.

Lalu keberadaan gadis itu yang tidak aktif berorganisasi karena tidak terlalu disukai senior. Siapapun pasti akan satu pemikiran, tanpa perlu bertanya kenapa, hanya melihat perilakunya saja, sudah menjawab segalanya.

Sampai di sana, Adrian baru menyadari bahwa ia tidak tahu apa-apa menyoal seluk beluk kehidupan gadis itu. Dia tidak benar-benar ingin mengorek atau mau tahu saat nekat merekrutnya jadi pengasuh Zahra. Ketika itu desakan Zahra membutakan ia seharusnya lebih teliti memasukan orang asing ke dalam rumah. Bukan menyesal karena  membiarkan Cinta dengan segala ketidakjelasan asal usulnya, tetapi menyesal kenapa Adrian tidak mencari tahu. Sekarang, rasanya belum terlambat untuk mencari tahu.

"Kalian sahabat Cinta?"

Juna mengelak. Gia mengangguk.

Gia satu-satunya sahabat Cinta, begitu pengakuan gadis berkerudung tersebut.

"Kamu tahu kenapa Cinta membiarkan dirinya tidak memperjuangkan dia tidak bersalah?"

Gia menggeleng.

"Kamu tahu Cinta berasal dari mana? Tahu kehidupan pribadinya?"

Lagi-lagi hanya gelengan yang Adrian dapat plus wajah mendung Gia.

"Saya tahu Bapak berpikir sahabat macam apa saya sampai tidak tahu jawaban atas pertanyaan Bapak karena selama kami bersahabat, Cinta tidak pernah memberitahukan kehidupannya, masalah-masalah hidupnya selain finansial. Dia lebih banyak mendengar keluhan saya, mencari solusi untuk masalah saya, tanpa saya diizinkan untuk lebih tahu tentang dirinya."

Cinta dengan segala kotak pandoranya. Pemegang kunci yang hanya lewat dirinya saja Adrian akan tahu. Masalahnya, apakah Cinta bersedia mengizinkan Adrian mengintip sedikit kotaknya?

***

Gia mengirimkan pesan, Adrian datang ke kampus untuk bertemu pak rektor dan besok Cinta sudah bisa kuliah lagi.

Cinta tidak gembira untuk kabar ia bisa kembali ke kampus, tapi untuk pria itu yang menepati perkataannya.

Cinta senang bukan main.

Apalagi pria itu pulang cepat. Untuk dirinyakah?

"Kamu sudah boleh kuliah besok." Kalimat pertama yang Adrian gunakan untuk memulai konversasi.

"Makasih banyak, Gia sudah bercerita." Cinta menjawab dengan senyum mengembang. "Makan siangnya dihabiskan, kan?"

"Ya, terima kasih. Lain kali jangan lakukan."

"Kenapa?" Cinta menantang mata obsidian Adrian. "Karena tampilan makan siangnya, ya kayak anak kecil? Sengaja, biar hari Om gak suram. Biar gembira seperti anak-anak yang dipikirkan cuma gembira-gembira saja."

"Saya bukan anak kecil dan saya tidak suka diperlakukan seperti anak kecil."

"Lain kali, Cinta tidak akan bikin karakter imut dan memasak aneka makanan untuk Om."

"Tidak perlu. Saya biasa makan di luar."

Cinta cemberut dengan sikap dingin dan defensif Adrian. "Makan di luar tidak menjamin higienis dan sehat. Belum lagi, Om yang tidak memikirkan asupan gizi karena mementingkan pekerjaan. Asal kenyang, Om tidak mempedulikan kesehatan."

"Kamu bukan istri saya yang berkewajiban untuk mengurus saya. Kewajiban kamu cukup mengurus Zahra."

"Kewajiban Cinta, membalas kebaikan Om yang sudah membantu Cinta. Tidak suka, tidak apa-apa. Cinta akan tetap usahakan untuk membuatkan Om makan siang."

Adrian tahu sekarang mengapa mereka sering berdebat untuk hal yang tidak masuk akal, karena kepala mereka sama-sama keras. Sama-sama berego tinggi dan sama-sama sulit mengalah. Adrian dengan logikanya dan Cinta dengan kelabilan emosional seorang remaja. Tidak akan bisa bertemu dalam sepakat. Kecuali salah satu dari mereka pergi, dan kebanyakan Adrian yang pergi atau minimal mengalihkan topik.

"Gaji pertamamu sudah saya transfer ke rekening kamu."

"Apa?" Membelalaklah mata Cinta. "Bahkan belum genap seminggu Cinta kerja."

"Mau saya tarik?"

"Gak, dong!"

"Gunakan itu untuk bayar utang-utangmu. Temanmu bilang, utangmu banyak."

"Hehe ...." Gadis itu garuk kepala. Mengakui lewat ekspresi cengengesan.

Adrian hendak mengatakan hal lain, tapi seakan tersendat di tengah pangkal tenggorokannya, dia tak sanggup bertanya segala tentang isi kotak Pandora yang gadis itu sembunyikan rapat-rapat. Siapa dia? Hanya asing yang membangun tembok tinggi dan berusaha untuk tidak menyeberang tembok tersebut hanya untuk tahu kehidupan pribadi Cinta. Adrian tahu dia sudah kelewat batas. Ia harus cepat-cepat menarik diri.

Lantas pria itu pergi mengherankan Cinta yang sudah siap mendengarkan sebab ia yakin tadi Adrian akan mengatakan sesuatu.

Gembiranya, rupanya hanya selewat saja.

Tatkala tamu datang sorenya. Mengaku adik Adrian, bersama suami serta dua anak kembar masih batita dan wanita muda berkerudung syar'i disambut senyum Adrian.

Aisyah, nama yang berhasil Cinta sortir dari keramah-tamahan Adrian saat menyambut tamu tersebut. Saling menangkupkan tangan dan melempar senyum manis. Cinta tahu wanita itu bukan bagian keluarga, tapi diterima dengan tangan terbuka oleh Adrian. Cinta mulai menarik asumsi, Aisyah spesial untuk pria itu. Pasalnya mampu membuat Adrian yang selama ini di mata Cinta bermuka suram, bisa tersenyum sehangat begitu.    

"Ibu, sudah kasih tahu, kamu pengasuh Zahra?"

Cinta mengangguk, senyum ramah melekat di wajahnya sepanjang berinteraksi menjawab pertanyaan Afifah. Mereka sempat berkenalan tadi tanpa jabat tangan. Cinta tahu diri untuk tidak terlalu akrab dengan orang yang tidak mengulurkan tangan. Dia hanya orang baru yang tidak akan mendapatkan cipika-cipiki seperti yang didapatkan Bi Lastri dan Bi Sum yang sudah puluhan tahun bekerja di rumah ini.

"Tidak mengira semuda ini." Afifah menyeletuk. Ibunya sudah bercerita banyak tentang Zahra yang lengket dengan Cinta, yang membuat Adrian terpaksa merekrut gadis muda itu setelah kalah dalam perdebatan alot.

Kemudian sudah, Cinta tidak digunakan lagi di ruang lingkup interaksi keluarga tersebut.

Lagipula Zahra sudah berbaur dengan dua sepupunya yang lucu. Ditambah Aisyah memonopolinya. Awal bertatap muka, Zahra sempat defensif, tapi Aisyah memiliki aura keibuan yang mudah meruntuhkan sikap defensif Zahra dan lama-lamaan mereka lengket.

Untuk itu Cinta memilih menarik diri dan pergi ke belakang.

Ia tahu sekarang Adrian pulang cepat bukan untuknya, melainkan untuk tamu-tamu tersebut.

_____

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang