Kesan pertama menginjak rumah besar bergaya mediterian ini adalah, biasa saja. Jadi, aku tidak akan menjabarkan secara eksplisit, karena aku malas.
Justru yang menarik seluruh antusiasku adalah Zahra. Ia baru saja pulang sekolah. Berlari menghampiriku yang menanti di ruang tamu.
Om Duda menyusul beberapa meter di belakang. Menyaksikan bagaimana aku memeluk Zahra.
"Zahra, ganti baju dulu. Ayah ada urusan dengan Cinta."
Meski kecewa mengikat maniknya yang bulat, Zahra melepasku. Ia berderap menaiki tangga melingkar. Sementara tinggal aku dan Om Duda berduaan. Duduk berduaan! Tapi berseberangan.
"Ada beberapa poin yang harus kamu pahami dari kontrak kerja ini."
Ia menyerahkan lembaran-lembaran itu padaku. Membaca sekilas saja mengundang perasaan horor, apalagi sampai tuntas. Aku benci peraturan.
"Kontrak kerja itu sudah dilegalisir ...."
Kenapa aku baru sadar, kalau Om Duda jauh-jauh lebih tampan dilihat dari dekat?
Wangi lagi. Apakah ini yang dinamakan wangi yang tampan?
"Poin-poin yang dilanggar akan berurusan dengan hukum ...."
Padahal awal bertemu, tidak ada pikiran untuk mengamati detail wajah maupun fisik. Hingga mengaguminya saja tidak. Saat itu pekerjaan menyita pikiran.
"Jadi, sebelum ditandangani dan kamu menyesal, sebaiknya baca baik-baik ...."
Jas kerjanya menambah kadar tampan berpangkat-pangkat. Song Jong Ki lewat, Manurios lewat, Bright juga lewat.
"Lingkari poin mana yang menurutmu memberatkan. Dan kamu bisa mengajukan beberapa poin ...."
Badan besar dan dada yang kokoh, pasti sangat hangat kalau bersandar di sana.
"Apa kamu mendengar kata-kata saya?!"
"Oh!" Suara husky-nya juga tak kalah membikin jantung kampungan. "Dengar, kok!"
Segaris matanya, memandangku selidik. Balasanku cuma nyengir.
"Kita diskusikan nanti malam. Sebelum kontrak disepakati, jangan membuat ulah. Kamu mengerti!"
Meski tidak sepenuhnya paham, aku mengangguk-angguk saja.
Selepas dia pergi, satu dorongan panjang membuang napas melemaskan otot dada. Kepalaku rebah di kepala sofa, lampu kristal besar menggantung jadi objek visual. Panas. Aku mengipasi pipi. Kehadirannya memberi pengaruh besar pada diriku, medan magnet kalah kuat dengan gravitasi yang dipancarkan Om duda itu.
"Hah!" Aku mendesah, apa aku bisa bertahan satu rumah dengan Om Duda dalam waktu yang lama?
***
"Ayo, Kak kita main!"
Seragam lengkap kerudung sudah terlepas, berganti baju rumahan. Zahra memandangku penuh harap dari atasku. Apa yang bisa kulakukan kalau kata Om Duda, aku dilarang bikin ulah sebelum kontrak kerja disepakati?
"Kak Cinta!"
Aku putuskan untuk perkosa bumi, beradaptasi dengan lantai. Kedok, malas melakukan apa-apa, sih. Jadi, aku melakukan gaya katak mati. Mumpung berada di rumah besar ini, aku manfaatkan untuk sedikit merilekskan jiwa raga.
"Kak Cinta!" Bahuku tergoncang. Gempakah? Ternyata Zahra.
Aku terduduk malas, menatap Zahra saat lenguhan panjang meluncur.
"Kak Cinta baby sitter Zahra. Harusnya kakak temani aku main!" Ia bersungut marah.
"Ini siang, bukannya anak kecil tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Om Duda
RomanceCinta Azalea, gadis 18 tahun miskin yang butuh pekerjaan. Annisa Azahra, anak 6 tahun yang membutuhkan sosok Bunda. Muhammad Adrian, Duda 30 tahun yang tidak berniat beristri lagi karena masih mencintai mendiang istri. Bagaimana kisah mereka dalam...