"Silakan masuk Pak Adrian!" Juna menggeser pintu gerbang selebar tubuh Adrian.Mereka berjabat tangan untuk kembali menyapa secara langsung.
"Uwu ... eh, maksud saya Zahra, ada di dalam. Mari saya antar."
Adrian mengikuti di belakang Juna. Melihat ke sekeliling sejenak untuk tahu isi kos-kosan dua lantai yang ternyata lebih luas dari perkiraan.
Di teras sebuah kamar, sekitar beberapa meter menyekat, Adrian bisa mengenali anaknya berdiri sehat memeluk kelinci kesayangannya. Pria itu berlari melewati Juna untuk menggapai Zahra. Sekali angkat, gadis cilik itu sudah berada dalam gendongan Adrian. Serangan ciuman tak pelak mendarat di pipinya yang gembil.
Zahra mengerang. "Ayah, jangan cium. Aku bukan anak kecil lagi!" Gadis cilik itu sangat tidak suka mendapatkan ciuman ayahnya. Karena ujung rambut cambang Adrian, selalu menyakiti kulit lembutnya. Seperti jarum yang tajam.
"Zahra akan selalu jadi anak kecil ayah. Jadi, katakan pada ayah mengapa Zahra pergi tanpa pamit?"
Gadis kecil itu enggan mengatakan dirinya sedang melancarkan aksi kabur. "Zahra, cuma bosan di rumah dan ingin jalan-jalan sendiri."
"Apa ada kaitannya dengan masalah Zahra di sekolah?"
Bagian itu memang yang mendorong Zahra berbuat sejauh itu—kabur. Diperingati guru, dimarahi para orang tua teman-temannya memang bukan hal baru dan ia sudah terbiasa. Namun, entah hari ini ia terlalu kesal dan nekat ingin sendirian.
Enam tahun merawat Zahra, mudah bagi Adrian untuk mengetahui suasana hati anaknya, meski Zahra tidak mengatakan apa-apa. Itu bisa dilihat dari mimik wajah Zahra yang menekuk sebal. Adrian menebak dengan benar, bahwa masalah Zahra di sekolah memang ada kaitannya dengan kepergian Zahra.
"Ayah tidak marah dengan sikap Zahra di sekolah, tapi ayah akan marah jika Zahra pergi tanpa pamit dan membuat ayah dan nenek khawatir. Ayah harap Zahra tidak mengulangi perbuatan ini lagi, Zahra paham?"
Zahra mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Ia tahu tidak ada senyum, berarti ayahnya sangat marah. Untuk itu, solusi terbaik, tidak membantah.
"Kita pulang." Adrian menolehkan pandangannya pada Juna di sana. Lalu ada satunya lagi perempuan muda berhijab yang tidak ia kenali. Mesem-mesem kepadanya. Salah tingkah. Bukan hal baru bagi Adrian menemukan fenomena tersebut, perempuan muda mana pun selalu begitu setiap bertemu dengannya.
Kepada Juna, ia berkata. "Terima kasih, Mas sudah menemukan anak saya."
"Sama-sama, Pak. Tapi bukan saya yang menemukan anak Bapak. Melainkan ...." Juna melirik ke tempat Gia dan ia tidak menemukan Cinta. Padahal tadi cewek absurd itu setia di sebelah Gia. Sejak kapan menghilang?
Gia tahu arti lirikan Juna yang kebingungan dan Gia menunjuk ke balik tembok sebagai saka bangunan. "Cinta ngumpet."
"Ta, sini lo!"
"Gue bukan Cinta, tapi tembok!"
Juna berdecak, memanjangkan langkah ke tempat Cinta. "Bukan waktunya bercanda!" Pemuda itu menarik Cinta keluar dari persembunyian. Menariknya kasar bagai sapi yang siap dikorbankan ke hadapan Adrian. Menulikan kuping saat Cinta merengek, minta dilepaskan.
Dua kali untuk hari ini! Adrian dipertemukan dengan gadis yang sama. Gadis yang membuat ia sempat kesal dengan ulah liarnya; merebut sisa humburger-nya dan menghadang mobilnya untuk memalak pekerjaan.
Sekarang anaknya ditemukan oleh gadis itu. Alangkah buruknya hal itu bisa terjadi.
"Apa lima ratus ribu belum cukup untukmu sampai kamu menculik anak saya!" Adrian menancapkan tatapan tajam terhadap Cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Om Duda
RomanceCinta Azalea, gadis 18 tahun miskin yang butuh pekerjaan. Annisa Azahra, anak 6 tahun yang membutuhkan sosok Bunda. Muhammad Adrian, Duda 30 tahun yang tidak berniat beristri lagi karena masih mencintai mendiang istri. Bagaimana kisah mereka dalam...