58

3.8K 239 12
                                    

Sehabis mandi, kemudian melangsungkan salat berjamaah berdua di kamar saja, lantas membanting tubuh ke ranjang seakan seluruh tulang dilolosi satu per satu. Cinta terbaring tak berdaya.

Adrian duduk di bibir ranjang memperhatikan wajah pucat Cinta.

"Cinta akan istirahat sebentar. Setelah itu turun." Cinta menggumam kelelahan.

"Kita berdua di sini saja sampai ashar. Kamu istirahat, saya mau cek pekerjaan."

Cinta buru-buru bangkit. Menatap Adrian sangsi. "Tapi bagaimana dengan Nenek dan lainnya. Mereka akan berpikir kalau Cinta pemalas lantas meragukan keseriusan Cinta dalam pembuktian sebagai istri yang pantas buat Mas. Terus Aisyah bagaimana."

Padahal sudah kelihatan secapek itu, masih saja memaksakan diri memikirkan orang lain, bikin Adrian gemas untuk memarahi Cinta. "Kamu bukan pembantu di rumah ini. Kamu istri saya," tegasnya.

"Tapi, Mas ...."

"Kamu sudah bekerja keras hari ini. Biarkan mereka mengerti bahwa mendengarkan kata-kata suami adalah bakti seorang istri ketimbang melayani mereka."

Cinta pun kembali berbaring. "Cinta merasa tidak seperti pembantu ataupun dimanfaatkan. Cinta hanya ingin dianggap sebagai istri Mas Adrian."

"Kamu tidak perlu susah payah membuktikan diri. Sejak saya menikahimu, seharusnya mereka sadar bahwa kamu istri saya sekarang."

Rasa kantuk membuat suara Cinta mengecil dan pandangannya semakin sayu. Namun ia paksa untuk tetap terjaga. Figura yang besar milik Aira menempel sempurna di dinding kamar Adrian. Waktu itu saat Cinta masih menjadi baby sitter untuk Zahra, sedang melakukan permainan survival. Ia tak sengaja masuk ke dalam kamar ini lalu menemukan foto Aira yang berbingkai besar menusuk ulu hatinya. Sekarang posisinya sudah menjadi istri Adrian, rasanya masih sama, ia merasa sangat kecil di depan foto Aira, tapi perasaan kecil itu semakin menyiksa batinnya.

"Mas, Mbak Aira itu seperti apa orangnya?"

Adrian menaikkan alis, tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan bikin Adrian langsung menatap figura mendiang istri. Secinta itulah Adrian dulu pada Aira sehingga ia membuatkan bingkai sebesar itu agar saat ia bangun di pagi hari dan beranjak tidur pada malam hari, ia dapat mengenang kebaikan sang istri setiap saat.

"Aku menemukan Khadijah di dalam dirinya, sehingga aku jatuh cinta padanya," aku Adrian jujur sejujurnya.

Cinta tersenyum. Sama sekali tidak cemburu, melainkan merasa luar biasa kagum. Aira yang dianalogikan sebagai Khadijah istri Baginda besar nabi Muhammad, berarti mempunyai akhlak seorang bidadari surga.

"Mas, Cinta gak mau bersaing dengan Mbak Aira karena dari segi manapun Cinta benar-benar kalah. Cinta juga tidak berniat merebut hati Mas dari Mbak Aira. Cinta hanya akan mencintai Mas dengan cara Cinta sendiri, kalaupun Mas menganggap pernikahan ini sebagai kewajiban atau demi Zahra, Cinta tidak apa-apa."

Di balik sikap slengean Cinta, siapa yang mengira perempuan itu bersifat legowo. Ah, Adrian lupa kalau Cinta sudah kehilangan banyak hal. Tentu tidak mendapatkan hati Adrian seutuhnya bukan masalah baginya karena ia sudah terbiasa.

Adrian tersenyum, mengelus kepala Cinta yang basah dan bau shampo. Cinta yang terkejut akan sikap lembut Adrian, mendongak menatap langsung Adrian yang kebalik.

"Kamu bisa seperti Aisyah istri Rasulullah yang cerdas, energik dan cekatan."

"Aisyah?"

Adrian mengangguk. "Humairah."

Cinta makin tambah bingung dengan sebutan Humairah dan langsung ditangkap Adrian. "Panggilan kesayangan Rasulullah untuk istrinya Aisyah Radhiallahu Anhu. Yang artinya kemerah-merahan. Karena setiap Rasulullah memuji Aisyah, pipinya akan berwarna kemerah-merahan."

"Apa pipi Cinta kemerah-merahan saat dipuji? Kayaknya gak deh."

"Nggak emang." Adrian berkata jujur dan sedikit sebal karena Cinta tidak menangkap maksudnya. Poinnya adalah panggilan kesayangan untuk istri, bukan arti secara harfiah.

"Humairah." Cinta menggumam dengan tawa dibuat-buat. "Tapi kalau Mas suka gak papa. Cinta suka dipanggil apapun. Panggil nama saja juga cukup kok. Kakek yang memberi nama Cinta Azalea. Beliau berharap Cinta mendapatkan lebih banyak cinta dari sekelilingnya dan dengan cinta tersebut Cinta dapat memberikan cinta kepada orang-orang yang hidupnya tidak beruntung. Cinta bersyukur kakek memberikan nama Cinta, karena orang lain tak perlu mencintai Cinta karena memanggil namaku saja sudah cinta hahaha ...."

Adrian tersenyum melihat Cinta segembira ini dengan sederhana. Kakek dan Nenek Cinta berhasil mendidik Cinta menjadi perempuan yang tangguh dan memandang dunia yang kejam ini sebagai tempat yang mudah ditaklukkan.

"Cinta." Adrian memanggil dengan lembut. Fokus Cinta pun kembali pada Adrian yang bermuka serius.

"Saya ingin kamu menjadi bunda untuk Zahra juga untuk anak-anak kita selanjutnya." Lantas pria itu mengecup kening Cinta sangat lama.

Tidak perlu kata-kata cinta yang eksplisit. Karena bagi Cinta, Adrian yang menginginkan anak darinya saja sudah cukup membuktikan cinta yang sesungguhnya.

***

Adrian turun sendirian. Ia bergabung dengan lainnya. Mayang tidak melihat Adrian tanpa Cinta langsung menyindir. "Istrimu ke mana?"

"Dia aku suruh istirahat karena kelelahan mengerjakan yang seharusnya tidak ia kerjakan di hari di mana harusnya ia bersantai pasca pernikahan kami." Sebagai seorang CEO yang telah banyak mengecap asam garam dalam menghadapi banyaknya sifat manusia yang lebih keras sekalipun dalam kasus tender, menghadapi argumen Mayang bukanlah hal yang baru bagi Adrian.

"Dia sendiri yang ingin membuktikan pada kami kalau dia ingin dianggap pantas di keluarga ini."

"Bude dan lainnya. Cinta memang bukan dari kalangan berada dan statusnya tanpa bapak, bukan berarti kalian merendahkannya. Saya suaminya yang berhak atas Cinta istri saya. Kalau ada yang meragukannya, saya akan jadi orang pertama yang akan jadi pelindungnya."

Adrian terlihat sangat serius dengan kata-katanya dan itu berdampak untuk Mayang dan juga saudara-saudara yang lain yang membenci Cinta, ciut nyali mereka.

Nenek Karmila yang diam di tempat duduknya, menghela napas. Adrian telah banyak berubah. Cucu kebanggaannya dari anak pertama laki-laki kebanggaannya pula memiliki pola pikir yang berseberangan secara ekstrem dengan tradisi keluarga.

"Adrian sudah cukup dewasa. Ia telah memimpin perusahaan hingga keberhasilannya berekspansi ke segala sektor industrial karena kecerdasannya dan keputusan-keputusannya yang tepat. Jadi, kita tidak perlu mempertanyakan pilihannya karena dia tahu sekali mana yang baik dan buruk." Susanto angkat suara. Ia berbicara seakan-akan menjadi penengah tanpa memihak salah satu kubu.

Nenek Karmila sama sekali tidak suka, juga tidak sepenuhnya menyalahkan pendapat anaknya karena tidak salah juga. Meski begitu, ia sama sekali tidak berkomentar.

Mayang yang sepertinya tidak sependapat. Ia mendesak ibunya. "Ibu, tapi bukan berarti kita mengesampingkan nama baik keluarga!"

Suara hentakan tongkat yang dipukul ke lantai bikin semua orang terkesiap.  Itu ulah Nenek Karmila yang bangkit berdiri dengan kepayahan. "Aku ingin istirahat." Halimah bersiaga. Langsung membawa mertuanya ke kamarnya dan itu bikin Mayang gondok karena ibunya justru diam saja tanpa menyanggah satupun argumen yang harusnya dilawan.

Ketegangan yang mulai pudar itu dimanfaatkan Aisyah untuk mendekati Adrian. "Mas, bisakah kita bicara ini berkaitan dengan mama."

Mata Adrian memicing, tapi akhirnya mereka berdua menuju halaman samping rumah berdua saja.

"Ada apa?" Adrian bertanya.

"Mama kritis." Aisyah terlihat kalut. "Bisakah Cinta Mas bawa ke rumah sakit untuk menemui mama. Mungkin dengan maaf dari Cinta, mama bisa sembuh. Inilah kenapa aku datang kemari untuk meminta Mas mengizinkan Cinta bertemu dengan mama kandungnya."

"Aku tidak bisa berjanji, Aisyah. Tapi saya akan usahakan pelan-pelan."

"Kuharap secepatnya, Mas mengingat keadaan mama semakin hari semakin memburuk."

Adrian menghela napas dan hanya diam melihat Aisyah menangis.

"Ini demi nyawa mama, kumohon."

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang