Dalam mengendarai mobil, mata tak lepas dari sisi jalan. Sebenarnya tujuan Adrian bukanlah kantor siang itu, melainkan mencari Cinta. Meski jalan protokol ramai mobilitas, tak lantas membuat Adrian buru-buru. Justru ia santai saja menyetir sendiri mobilnya.
Lampu lalu lintas, tempat pertemuannya dengan Cinta yang kedua, mengantarkannya turun dari mobil dan meninggalkannya 10 meter di belakang. Menghampiri dua pengamen cilik kembar, mantan partner Cinta mengamen mendistraksi tujuan semula Adrian.
Pria itu dengan setelan necisnya sangat jomplang sekali berdiri di sisi jalan menunggu dua bocah cilik itu selesai menyambung hidup mengandalkan suara sumbang dan kecrekan tutup botol alakadarnya.
Sampai warna merah menjadi hijau, dua bocah kembar itu menepi. Awalnya tidak menyadari keberadaan Adrian, berjalan menunduk sambil menghitung isi gelas akua.
Adrian mendekat. Jongkok di depan mereka yang sontak membuat mereka kaget dan terheran-heran.
"Assalamualaikum," sapa Adrian.
"Waalaikumsalam," lirih mereka karena masih waspada pada orang asing yang menyapa mereka.
"Om, kan yang bawa Kak Cinta pergi?" tunjuk Amin menuduh.
Adrian mengulas senyum lantas mengangguk.
"Om, kenapa di sini?" tanya kembaran satunya bernama iman.
"Panggil Om, Om Adrian."
Mulanya mereka bingung pada orang asing ini yang tiba-tiba mengenalkan diri, lantas keduanya dengan masih ragu menyebut nama masing-masing. Tanpa segan Adrian lebih dulu menjulurkan tangan, hendak salaman serta merta disambut takzim kedua tangan kecil nan dekil itu.
"Om kenapa di sini?" Pertanyaan itu diulang kembali.
Namun Adrian masih geming.
"Kak Cinta di mana, Om? Kita kangen."
Kenapa? Adrian tidak berkomentar, cukup hatinya yang menyimpan alasan. Bahwa ia membawa dirinya menghampiri dua anak kecil tak beruntung itu tak lain dan bukan karena Cinta. Adrian sekarang mengerti mengapa gadis itu begitu dekat dengan anak-anak. Terlebih Zahra.
Teringat perdebatan mereka di rumah Adrian saat awal Cinta masuk ke rumah pria itu. Penolakannya dipatahkan oleh argumen Cinta yang ia anggap manipulatif. Sekarang terasa relevan sebab Adrian paham bahwa Cinta begitu getol ingin menjadi baby sitter Zahra karena keduanya merasa senasib. Zahra yang seorang piatu, dan Cinta yang terbuang. Keduanya memiliki sepi yang sama. Itulah mengapa Cinta bertahan di sisi Zahra karena gadis itu ingin berbagi bahagia yang sama, menyembuhkan sepi sama-sama, serta ingin membuat hidup Zahra tidak seperti Cinta yang memiliki orang tua berantakan. Begitu pula dengan kedua bocah di depan Adrian. Sama sekali tidak bernasib baik. Dua sosok yang tak Cinta kenali, dengan gampangnya Cinta beri kasih sayang cuma-cuma. Hingga membuat Zahra dan keduanya dibuat rindu.
Adrian menyentuh pundak ringkih itu yang dipaksa untuk bekerja keras di usia sangat belia.
"Di mana kalian tinggal?" Justru hal lain yang Adrian tanyakan.
"Di mana-mana, Om. Kadang di ruko, di pasar, di jalanan."
Seketika hati Adrian serasa baru saja diguyur perasan jeruk nipis di atas luka akibat ucapan naif keduanya. Lantas Adrian merogoh saku vest-nya demi ponsel. Kemudian menghubungi Reza dengan amat sistematis.
"Saya akan share lokasi, kamu harus datang ke sini segera."
Setelah menghubungi Reza yang langsung menyanggupi, Adrian menaruh semua perhatiannya kepada Iman dan Amin.
"Kak Cinta tidak ke mana-mana, masih bekerja untuk Om."
"Bilang sama Kak Cinta, ya Om. Kita kangen pengin ketemu."
"Om, akan sampaikan." Lengkap dengan segaris lengkungan kecil senyum Adrian berikan.
Berikutnya obrolan menjurus pada nasib keduanya mengapa bisa hidup di jalanan. Fakta satu tahun diungkapkan tragis dari mulut kecil itu bahwa mereka ditinggalkan ibu mereka di pasar. Bilang kalau ibu mereka pamit sekadar membeli makan, nyatanya sampai setahun berlalu ibu mereka tak pernah menjemput.
Bertepatan dengan cerita-cerita menyedihkan lainnya; seperti nyaris tertangkap petugas satpol PP dan mengalami tindak kekerasan dari pemalak preman, serta pengusiran semena-mena dari pemilik toko yang terasnya sering mereka tiduri, Reza akhirnya datang dengan mobilnya menghampiri Adrian.
Adrian berdiri, berbicara pada bocah cilik itu. "Kalian ikut Om Reza, ya?"
Tak dapat disembunyikan betapa pasi muka ketakutan itu. Adrian yang peka langsung menenangkan. "Jangan takut. Om Reza akan bawa kalian ke tempat di mana kalian bisa tidur nyenyak, makan enak dan sekolah."
Belum cukup penjelasan Adrian menyakinkan keduanya karena rasanya itu terlalu omong kosong untuk mereka yang sering menelan kenyataan pahit kehidupan, serta berkali-kali disakiti oleh harapan semu dari orang-orang yang pernah mereka temui, terutama ibu mereka sendiri.
Adrian yang menyadari mereka yang belum sepenuhnya percaya, kembali menyakinkan. "Om tidak memiliki niat jahat. Om hanya menginginkan kalian hidup lebih baik semata-mata karena Kak Cinta. Percayalah, Om pastikan kalian akan sering bertemu dengan Cinta jika kalian menerima tawaran dari Om."
Semula mereka saling pandang, berbagi ragu dan berpikir lama. Hingga anggukan kecil jadi isyarat tawaran Adrian diterima. Pria itu mengulum senyum syukur. Lantas menyuruh Reza membawa mereka masuk mobil.
Lambaian ia sematkan pada dua bocah itu yang duduk anteng di jok tengah. Sampai mobil Reza lebih dulu pergi berbaur dengan keramaian jalan raya.
Tujuan awal Adrian yang membuatnya tak mungkin membawa anak kembar itu ke panti asuhan sendiri, sehingga menyuruh Reza untuk mengurus. Sementara ia harus cepat ke tempat di mana ia akan menguras emosionalnya pasca kepergian Cinta beberapa hari ini.
***
Mobil yang ditumpangi Adrian berhenti di mulut gang. Tak mungkin untuk roda empat melewati jalan yang muat dua roda saja.
Ia putuskan jalan kaki dengan santai menuju ke sebuah kos-kosan putri yang agak menjorok ke dalam. Masuk halaman pagar yang tak terkunci begitu saja, lantas mendapati seorang ibu-ibu paruh baya sedang mencabuti rumput yang segera Adrian kenali sosoknya sebagai pemilik kos.
"Assalamualaikum," sapanya segera direspons wanita itu dalam sekali gerakan toleh.
Mengamati sebentar, sebelum akhirnya berdiri sembari mengelap tangannya ke baju, tak peduli baju dasternya kotor karena tamu di depannya jauh lebih penting dan mengagetkannya.
"Kamukah?" tanya ibu kos degan tampang kagetnya yang tidak ada bagusnya.
"Ya, saya Adrian yang menelepon kemarin."
Bu kos makin panik. Ia celingukan ke arah pintu sebuah kos mungil.
"Sebentar!" Bu kos beralih pada Adrian. "Beneran kamu calonnya Cinta?"
Adrian mengangguk.
Bu kos mundur dua langkah untuk menyakinkan diri lewat observasi dadakan dari ujung rambut yang klimis sampai ujung kaki berbalut pantofel mahal milik Adrian.
"Gak mungkin. Gak mungkin." Sepertinya Bu kos masih tidak percaya dengan fakta di depannya. Lalu ia berkata, "Gak tahu Tuhan adil atau tidak. Modelan Cinta bisa dapet yang sempurna begini. Gadis tidak jelas itu sangat beruntung."
"Maaf, Bu. Saya ke sini untuk bertemu Cinta secepatnya."
"Baiklah, baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Om Duda
RomanceCinta Azalea, gadis 18 tahun miskin yang butuh pekerjaan. Annisa Azahra, anak 6 tahun yang membutuhkan sosok Bunda. Muhammad Adrian, Duda 30 tahun yang tidak berniat beristri lagi karena masih mencintai mendiang istri. Bagaimana kisah mereka dalam...