Satu penyesalan terbesar Agung adalah mengeluarkan uang dari dompetnya hanya untuk membayari semua makanan yang disantap Cinta dengan sangat rakus.
Bermula dari Cinta yang tiba-tiba menangis histeris di pelukannya, mengundang curiga dan kesalahpahaman dari lalu lalang di sekitar.
"Diapain ceweknya, Mas?" Salah satu pejalan kaki menuduh.
Agung dengan gugup membantah. "Ini gak seperti yang kalian pikirkan!"
"Masa? Kok ceweknya bisa nangis kejer gitu? Pasti sudah diapa-apain, ya?"
Pada saat itu Agung tidak mampu membela diri sendiri di saat dirinya terpojok oleh tuduhan tidak valid.
"La—laper, huhuhu! Minta makan!" Cinta merengek dalam pelukan Agung.
"Dia nangis karena laper, doang!" dengan gugup Agung membela diri.
"Ya, udah kasih makan, kasihan anak orang mati kelaparan bagaimana?"
Tanpa berpikir untung rugi, Agung menyeret Cinta keluar dari sarang tatapan para pejalan kaki yang mulai menumpuk. Namun, ia masih bisa mendengar orang-orang tidak berhenti memojokkannya.
"Dasar cowok sekarang emang gak peka banget! Cewek nangis malah dibiarin gitu, aja."
Sampai sekarang Agung menyesal tidak menimbang untung rugi dari tindakannya membawa Cinta ke restoran yang sama saat pertemuan Cinta dengan ibunya.
"Lo meras gue," katanya dengan sengit sambil menatap meja di depannya yang tidak menyisakan ruang kosong, penuh makanan yang dipesan Cinta. Agung tidak.
Angkat alis serta tatapan sekilas jadi tanggapan Cinta. Berikutnya, melanjutkan makan rakusnya tanpa sedikitpun terganggu.
Agung menggerung marah seraya mengacak rambutnya yang sudah memanjang. "Jatah bulanan gue abis demi makanan sebanyaknya ini! Lo harus ganti! Mana mahal semua!"
Cinta menurunkan sendok, menelan sebentar sebelum kembali memandang Agung yang amat frustrasi dengan mata berkaca-kaca. "Hari ini aku ulang tahun. Seseorang yang berulang tahun tidak boleh sedih di hari ulang tahunnya dan kamu harus traktir aku supaya aku enggak sedih lagi."
"Di mana-mana yang ulang tahun yang traktir, bukan gue yang traktir!"
"Aku sudah menangis tadi, apa kamu tega membuatku sedih lagi dan merusak hari ulang tahunku?"
Agung merasa terbodohi membiarkan diri teperdaya oleh wajah manipulatif tersebut. "Oke, kali ini aja gue berbaik hati! Makan yang banyak, ya dan bikin gue BANGKRUT SEKALIAN!" Semua emosi Agung semburkan dalam sekali tarikan napas.
Tangis pura-puranya berhenti, berganti dua jempol tangan teracung. "Cuma kamu musuh paling baik sedunia. Luar biasa!" Cinta bertepuk tangan. "Aku jadi terharu!" Lantas mencebik pura-pura menangis bahagia.
Selang beberapa detik saja akting terharu, Cinta kembali melanjutkan santapan siangnya. "Menangis bikin aku lapar. Steak-nya enak banget!"
Memandangi intens Cinta, bukan berarti Agung kelaparan, atau mengamuk. Karakter Cinta lah yang justru jadi titik fokus. Sulit Agung pahami.
Baru saja Cinta menangisi ibunya, keluar restoran dengan linglung tidak tahu arah hidup, lalu tiba-tiba menjadi sangat bahagia hanya karena makanan. Seakan ia tidak pernah disentil badai sebelumnya.
Bisa jadi gadis ini sengaja berpura-pura memerankan karakter sok kuat, padahal dalamnya keropos. Atau justru memang sekuat di luar perkiraan Agung.
Kini pun Agung masih bingung, kenapa gadis di depannya acuh tak acuh perihal hidupnya yang di ujung tanduk, tertekan banyak masalah. Orang lain pasti sudah menyerah. Pernahkah Cinta menyerah? Pertanyaan itu membersit, tetapi Agung tidak cukup berani untuk mempertanyakannya. Hah?! Sejak kapan dia peduli nasib orang yang sudah menghancurkan wajahnya? Sudah mulai gila rupanya dia.
"Apa lo bakalan menuruti perintah ibu lo?"
Cinta menghentikan suapan untuk membalas pertanyaan Agung, amat antusias. "Bukankah itu yang kamu mau? Jadi, kamu gak susah-susah mengusirku. Atau kita berkomplot saja. Bantu aku keluar dari rumah Om Duda."
Agung tertawa sinis. "Baru kali ini ada korban sepertimu meminta bantuan musuh, sementara hal itu akan menghancurkanmu."
"Agung ganteng, aku percaya manusia tidak sepenuhnya jahat. Selalu ada sisi baik di dalam dirinya, sekecil apa pun itu. Kayak kamu, kamu bisa meninggalkanku dan pergi dengan cuek. Tapi kamu malah membiarkanku memelukmu. Ibuku juga, dia bisa saja tidak peduli dan benar-benar membuangku. Tapi nyatanya tidak, dia masih memberiku uang setiap bulannya untuk hidup."
Agung sepenuhnya tidak satu pemikiran. Sayangnya dering ponsel keburu menyetop mulut Agung yang hendak bersuara. Buru-buru Cinta mengaduk sakunya dan Agung melihat Cinta bangkit untuk mengangkat telepon.
"Sama Agung."
"Agung?"
"Dika." Cinta membenarkan. "Cinta ditraktir makan sama Dika."
Cinta perlu mengecek ponselnya karena Om Duda di seberang telepon mendadak diam.
"Holow, Om. Om gak kesambet, kan?"
"Pulang. Ibuku akan mengajakmu ke suatu tempat."
"Sekarang? Tapi makanan Cinta belum habis."
"Habiskan dan segera pulang."
"Tunggu!" Sambungan mati seketika. Cinta menggerutu. Enggak ngomong langsung, enggak di telepon, masih saja dingin.
Cinta kembali. Melanjutkan makan dua kali lipat kecepatan ia makan sebelumnya, mengherankan Agung.
"Siapa yang telepon?"
"Om Duda."
"Mau apa?"
Bahu Cinta terkedik. "Gak tahu. Disuruh pulang katanya."
Piring-piring tandas setelahnya, ditutup seruputan jus jambu berbunyi keras. Cinta mengelap mulut pakai ujung kemejanya. Keluarlah serdawa tanpa jaim, cukup mengundang beberapa pasang mata menatap gadis yang sedang mengelus perut melembung, terlalu kekenyangan.
"Agung, makasih banget." Cinta menatap Agung, tak ketinggalan senyum tulus dan manis sekali. "Berkat kamu sedihku hilang."
Tidak ada ucapan, hanya memandangi Cinta mencangklong ransel dan bangkit.
Ini salah, pikir Agung. Jantungnya tidak perlu kampungan hanya karena Cinta mendekatinya. Agung juga tidak perlu gugup tatakala Cinta membungkuk dan wajah mereka sejajar.
"Ma—mau apa?" Agung berdeham. Membasahi kerongkongannya yang mendadak kering.
Tangan Cinta terulur dan ternyata ia cuma mengelap kening Agung dengan ujung lengannya. Bukan hal yang diperkirakan Agung. "Keringat. Kamu udah baik banget traktir aku. Nanti aku bakalan masakin makan malam paaaaaaling enak."
Punggung Cinta tegak dan ia melambaikan tangan. "Sampai jumpa di rumah." Masih dengan senyum sempurna terakhir untuk Agung, Cinta melenggang. Tasnya bergoyang saat ia melompat kecil keluar restoran.
Sekali embusan panjang nan kasar, keringat justru lebih deras mengucur di bekas sapuan Cinta. Agung menyentuh jantungnya yang riuh. "Shit!"
Tapi kemudian ia melebarkan bibir. "Manusia tidak sepenuhnya jahat. Gadis itu terlalu naif."
_____
Ini emang pendek, tapi aku gak sabar update. Jadi aku update cepet2. Gak mau bikin kalian nunggu lama. 😌
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Om Duda
RomanceCinta Azalea, gadis 18 tahun miskin yang butuh pekerjaan. Annisa Azahra, anak 6 tahun yang membutuhkan sosok Bunda. Muhammad Adrian, Duda 30 tahun yang tidak berniat beristri lagi karena masih mencintai mendiang istri. Bagaimana kisah mereka dalam...