9

11K 680 9
                                    


Perasaan kesal ini masih berlanjut sampai rumah saat Zahra lebih dulu menyambut gadis sinting itu dengan pelukan hangat. Ketimbang aku, ayahnya sendiri, yang diabaikan sama halnya dengan pilar di sebelahku. Padahal boneka beruang lucu yang kubawa harusnya jadi objek pertama yang disambut gembira.

Apakah ini yang dinamakan ayah yang tidak dianggap?

"Uwu, Kakak kangen!"

"Kak Cinta!"

Ibu muncul tepat ketika dua perempuan beda usia itu saling memeluk. Menjadi saksi kedua pemandangan dramatis tersebut, seakan mereka memiliki ikatan darah sebelumnya dan mengharu biru setelah lama tidak dipertemukan.

Memuakkan!

"Ayah, bawakan beruang untuk Zahra," interupsiku cepat, sengaja merusak drama mereka. Ya, anggap saja aku cemburu.

"Makasih, Yah." Siapa sangka, ekspektasiku terlalu tinggi. Ia hanya melirik sebentar dari balik punggung berjongkok itu, lalu kembali menikmati hangatnya pelukan.

Lebih dari menyakitkan, apa yang kubawa tidak menarik hati.

Tahu-tahu, ibu di sampingku, menepuk pundak. Sepertinya paham betul, putranya sedang mendidihkan amarah.

"Mandi saja dulu, kami akan menunggu di ruang makan."

Amarah mudah tersulut belakangan ini. Sebelum Aira almarhumam, sosoknyalah yang menjadi peredam amarahku. Sifatnya yang lembut melunakkan hati yang terlanjur mengeras. Kini raganya telah fana, aku harus puas menghamba pada Tuhan bila amarah nyaris memuncak.

Aku berpamitan. Membawa serta boneka untuk kuletakan di kamar. Mandi segera. Air pancuran sedikit banyak mendinginkan tensi ketegangan. Berlanjut menghamba empat rakaat, amarah seketika ludes menguap.

Kaos polo dan celana panjang santai kukenakan untuk makan malam kali ini. Tiga sosok perempuan telah menunggu kehadiranku di meja.

Zahra duduk di samping gadis sinting itu, kedekatan mereka rupanya tak ingin dihalangi sekalipun hanya sebentar.

Aku harus rela duduk di sebelah Ibu, meski ingin sekali menghabiskan waktu yang jarang kami habiskan bersama.

"Ayo, makan!" mulaiku.

Sebelum menyantap, masing-masing berdoa dalam diam. Aku memperhatikan begitu terkesima pada piring Zahra.

Tidak biasanya porsi makan Zahra, sebanyak itu. Apa karena faktor piring sebelahnya yang lebih menggunung? Apa saja lauk dan sayuran di meja, ia tumpuk hingga piring tak muat menampung.  Zahra seakan bersaing, tak mau kalah.

"Berapa lama kamu tidak makan?"

Cinta mendongak ke arahku, tangannya memegang paha ayam kesulitan saat menghitung dengan jari. "Sepuluh jam." Kesusahan pula menyebut nominal saat mulutnya penuh.

Dia makan amat rakus, melebihi pekerja kasar, melebihi pria manapun. Melebihi tidak makan selama tiga hari. Melihatnya saja, sudah mengenyangkan perut. Sendok dan garpu kuletakkan, sudah cukup nafsu makanku kabur.

"Kamu gak makan, Dri?" tanya Ibu yang terlihat tidak menyukai piringku masih utuh.

"Kenyang. Saya akan makan nanti saja, kalau lapar."

Meja hanya memuat denting sendok beradu piring setelahnya. Memilih melipat lengan pada dada, aku mengamati anakku. Seperti tidak pernah merasai sedih sebelumnya.

Senyum membingkai wajah sepanjang makan malam. Tawa gemerincing, menghidupkan meja makan yang selama ini muram. Sedikit banyak cemburu mengusik.

Hanya butuh sehari bagi gadis itu untuk menghadirkan pelangi, mengusir mendung di wajah anakku dengan mudah. Sementara aku butuh bertahun-tahun memikirkan bagaimana cara membahagiakan anakku saja, rasanya belum cukup.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang