15

9.9K 554 23
                                    

"Berapa lo sekali BO?"

Axel tahu-tahu menghadangku yang entah muncul dari mana. Kek, kentut, senyap, entah dari pantat siapa dan aku gak peduli eksistensinya. Geser kiri, dia ikut ngiri. Aku ke kanan, dia nganan juga. Gitu terus sirkulasinya, sampai aku putuskan berhenti, dia pun ikut berhenti pula. Argh! Aku marah!

"Kak, jaga bicara, ya! Gosip itu hoax! Cinta bukan peliharaan om-om!"

Mata onix-nya bergeser, menancap pada Gia yang mati-matian membelaku.  Tangannya merogoh saku jaket denim, menarik selembar foto. Dilambai-lambaikannya di depan muka Gia dan aku.

"Hoax, tapi kok ada bukti?"

"Jangan-jangan lo ya, Kak ambil foto itu?!" tuding Gia semena-mena.

"Kalau gue yang foto, gue gak akan sebar sembarangan dan bakal gue manfaatin buat kepentingan pribadi."

Tidak. Aku tidak sekaget Gia. Bukti itu diambil pada angle yang tepat. Cinta yang masuk ke mobil mewah dan sebelumnya terabadikan berbicara dengan seorang om duda seksi beranak satu—di kaca jendela kemudi. Siapapun tidak akan menyangkal, begitu pula aku. Bukti itu benar. Jumlahnya tidak hanya ada di tangannya saja. Melainkan ratusan tertempel di mading dan terakhir kali kulihat disandingkan dengan brosur ANDA MISKIN? KI GENDENG SOLUSINYA lengkap nomor ponsel dan emotikon jempol segede gaban. Cinta yang ingin miskinnya sembuh bersanding dengan solusi instan dengan cara klenik—sampai sekarang kebetulan itu masih jadi misteri bagiku.

"Kak Axel!" Akting genit, suara manja, ekspresi imut dan kerlingan seduktif adalah paket komplit untuk menjinakkan playboy cap badak sekelas Axel. Berhasil seluruh perhatiannya jatuh padaku.

"Bicaranya nanti aja, ya. Cinta ada urusan sebentar."

"Tunggu!" Telapak tangannya yang besar mencekal siku. Menghentikan langkahku.

"Gak, gue gak akan lagi ketipu kayak tempo lalu. Lari dari gue setelah melukai harga diri gue. Gue bakal lepasin lo asal lo jadi cewek gue. Berapa pun yang lo mau gue kasih! Bukankah lo suka gue? Ini kesempatan bagus untuk mengubah status sosial lo."

Tinggal beberapa senti saja hidung mancungnya menyentuh hidungku. Memamerkan lirikan obsesi terang-terangan, hingga mendarat di tengah-tengah dada. Mengembanglah senyum yang tak lebih dari serigala birahi. Aku menyesal pakai tanktop dibungkus kardigan yang tak kukancingkan, kalau tahu bakalan dijadikan fantasi liar.

Semurah itukah aku di matanya?

Kutantang matanya, tak kalah berani. Memajukan wajah ke sampingnya. Menjinjit untuk sampai sejajar dengan telinganya. Pipi kami nyaris menempel. Agaknya ia terperangah oleh aksi spontanitasku. Menyeringai, sepertinya lebih penasaran aksiku selanjutnya hingga ia tak beranjak dari posisi. Andai tak ada kardus yang memalang di antara kami, barangkali tubuhku sudah menempel padanya.

"Bahkan." Embusan panas penuh seduktif, membelai cuping telinganya, beberapa mili saja sebelum bibirku menggigitnya. "Dengan seluruh harta Kakak masih mahalan keperawananku, Kak."

Gerangan yang kuembuskan membikin ia koma sesaat. Adalah momentum terbaik untuk lepas darinya.

Menggeser dua jengkal tubuh, aku berteriak. "Lari Gia!"

Pontang-panting aku ambil langkah seribu. Gia normalnya perempuan yang hidupnya tidak didedikasikan untuk olahraga, roh kesadarannya baru merasuk setelah tertinggal empat langkah besar dariku dan akan terus menjadi finalis kedua dalam perlombaan lari tak resmi ini.

"CINTA!" Gelegar teriakan Axel menciptakan tawa puas. Tampan, tapi bodoh. Tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya. Masih saja membiarkannya tertipu.

***

Untuk pertama kalinya aku bolos kelas hanya untuk mengejar ratu julid. Ini sebenarnya tidak sebanding. Ilmu jauh lebih bermanfaat ketimbang mengejar sampah. Namun, sampah ini lebih merepotkan. Selayaknya gulma yang menghambat pertumbuhan tanaman utama, tentu harus dibasmi segera.

Koar-koar sepanjang jalan, aku bertanya setiap mahasiswa yang lewat soal keberadaan Naomi. Sebelum akhirnya kakiku mendarat di kafetaria. Tidak heran ia cukup dikenal karena dulu populer dan mudah bergaul, di samping keluarganya memang berada. Bagus, aku tak perlu susah payah memburunya di seluruh berhektar-hektar luasnya area kampus.

Ia duduk santai menikmati minuman boba bersama teman. Aku mengambil tempat duduk di seberang bangku panjang tersebut.

"Lo pengin tahu seberapa berharganya mulut lo?"

Belum habis ia terhenyak oleh kedatanganku, aku keburu menodongnya dan lagi-lagi aku tak menunggu jawabannya.

"Nih!" Kardus yang kubawa kubanting di meja.

"Maksud lo apa?" Rona merah menyinggung sepanjang wajahnya setelah melihat isi kardus tersebut.

"Sudah lama gue ingin melakukan ini dari dulu."

Sudut bibirnya menarik sinis. "Kenapa lo melabrak gue! Lo pikir gue yang nyebar gosip itu?!"

"Mana dari kata-kata gue yang menyangkut pautkan lo dengan gosip gue?"

Sekakmat. Wajahnya makin merah, makin tidak bisa berkoar.

"Gue kasihan sama lo. Lo punya segalanya, lo bisa melakukan apa pun yang lo inginkan. Banyak orang yang ingin berada di posisi lo dengan segala kenyamanan hidup tanpa memikirkan betapa sulitnya cari makan dan mengejar beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Tapi lo tidak menghargai hidup lo. Meremehkannya dengan cari perkara lain yang justru akan menyulitkan lo di kemudian hari."

"Beraninya lo nasihati gue dengan mulut mantan kriminal macam lo itu?!"

"Siapa bilang gue nasihati lo. Lo terlalu sampah untuk mendapat kata-kata bijak dari mantan seorang kriminal. Gue hanya mengungkap apa yang gue lihat dari hidup lo," kataku santai.

"Tahu apa lo?! Lo gak tahu apa-apa tentang hidup gue. Atau sekalian aja gue sebar ke semua penghuni kampus bahwa lo pernah nyaris membunuh orang. Dan semuanya akan merendahkan lo dan anggap lo lebih-lebih dari sampah! Biar lo mampus dan sadar diri, lo gak bisa bertingkah seenaknya di depan gue."

Sejenak aku memandangnya. Aku tidak marah. Semua yang Naomi beberkan tidak semuanya salah.

"Lo sayang, ya sama gue."

"Apa?!" Sesumbarnya tertelan. Memandangku campuran tersinggung dan bingung.

"Iya, sayang. Segitunya benci gue sampai perhatian mau susah payah urusin kehidupan gue. Dari SMA pula sampai sekarang. Lama juga, ya?" Aku nyengir.

"Lo emang bego apa beneran bego! Gak ada sejarahnya sayang sama dengan benci!"

"Ada. Anggap aja sayang dan benci itu sama dengan rumus matematika positif negatif. Benci ibaratkan aja negatif. Negatif kali negatif, hasilnya positif. Benci kali benci, hasilnya sayang. Semakin lo benci gue, semakin lo sayang gue. Naomi, gak nyangka lo sayang gue!" godaku, mengedip jail.

"Eh, btw gue haus. Lari-lari demi lo, belum lagi ngebacot panjang kali lebar kali tinggi dipangkat-pangkat." Aku merampas boba-nya. Menyesap sedotan dan kudapatkan manis dan gulir kenyal bola-bola kecil di lidah. "Makasih."

Kuangkat boba-nya, sengaja kutukar dengan sampah dan membawanya melenggang. Sudah tak peduli lagi dengan rupa dari patung hidup tersebut. Gia—entah sejak kapan berhasil menyusul—memandangku dengan tatapan aneh di tengah keringatnya yang menderasi wajah. Kurangkul bahunya dan ia tidak berkata apa-apa saat aku ajak pergi.















Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang