39

9.1K 614 86
                                    

Baru saja Adrian mendatangani nota kesepahaman baru lewat virtual, perihal ekspor mobil dan komponen lainnya untuk meningkatkan kebutuhan otomotif di wilayah Asia Tenggara, nyaris menyentuh angka jutaan USD. Serta tak luput investasi dan pengembangan di bidang yang sama.

Sekarang ia berjalan ke ruangannya sambil melonggarkan dasi dan mengangkat telepon, ketimbang mengikuti jejak para petinggi direksi makan siang. Karena telepon dari ibunya jauh lebih penting.

"Ibu, akan mengajak Cinta untuk menemui wedding organizer. Kamu tolong hubungi dia."

"Baik. Bu, jika dia menolak nanti, paksa dia."

"Kenapa?"

"Karena dia akan terus keras kepala menolak rencana Ibu menggelar resepsi."

Adrian tidak mendengar apa-apa di ujung teleponnya selain helaan napas.

"Mas, ibu ingin memastikan apa kamu menikahi Cinta demi Zahra?" Panggilannya sewaktu kecil yang jarang didengungkan ibunya, kembali dipergunakan. Kalau sudah begitu, ibunya sedang sangat serius.

Adrian tak jadi duduk. Menjeda sejenak sebelum akhirnya ia mengubah haluan kaki menuju jendela besar yang menampung panorama kotanya yang sibuk.

"Memang Ibu pikir saya punya alasan selain itu?"

"Cinta membujuk ibu untuk tidak merestui kalian. Dan kamu memaksa menikahinya demi Zahra. Kamu pikir ibu tidak memikirkan hubungan kalian yang rumit? Terlebih perasaan Cinta. Ibu sama sekali tidak mengerti, mengapa dia tidak ingin menikah denganmu dengan alasan perbedaan derajat padahal dia mencintaimu. Kamu memang sudah dewasa, sudah tahu mana pilihan terbaik, tapi kamu tetap anak ibu yang selalu ibu cemaskan. Ibu berharap kamu dan Cinta memikirkan masalah ini sebelum menyesali pernikahan kalian. Karena Mas, keegoisan kalian berdua justru akan berimbas pada Zahra."

Tidak lagi bertukar kata, Halimah di ujung telepon menghela napas, tidak memaksa Adrian membalas ceramahnya. Memutuskan mengakhiri telepon dengan salam yang segera disambut Adrian.

Membuang kasar napas dari mulut, Adrian menjejalkan ponsel ke kantong celana bahannya bersama tangan lain. Adrian mengerti betul kekhawatiran ibunya, juga sama dengan kekhawatirannya.

Belum habis memijit kening yang regang, ponselnya kembali bergetar. Si nomor rahasia baru saja mengirimkan foto yang segera dibukanya. Tidak ada sedetik, kekuatan WiFi kantor langsung menampilkan objek secara utuh yang diambil candid.

Cinta dan Agung berpelukan di pinggir jalan.

Wajah rupawan itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun tapi tangan di kantong yang mengepal dan pegangan ponselnya yang mengencang berbicara banyak.

Adrian menghubungi si nomor rahasia. Sekali dering, terangkat. Tanpa pengantar basa-basi, menjurus ke inti. "Sudah menemukan keberadaan ayah Cinta?"

***

"Mbak, ini berapa?" Tunjuk Cinta pada Sepasang cincin silver yang pemilik jewelry-nya tunjukkan sebagai sampel.

"150 juta."

"Anjay! Bisa beli rumah."

Seketika Cinta mendapat tatapan kaget baik Halimah maupun pemilik tempat Halimah berlangganan.

Kikuk dan langsung menutup mulut setelah sadar telah mengumpat. "Cinta kaget, Tante. Cuma cincin simpel begitu, harganya mahal banget, hehe ...."

"Anda salah Nona, cincin ini dibuat dari emas putih dua puluh empat karat dan setiap bagian sulurnya terdapat berlian dan tentu saja setiap cincin yang kami produksi eksklusif hanya ada satu saja."

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang