27

8.9K 634 59
                                    

#Cinta_Om_Duda
[27] Dilamar

Kilat menjilat. Guntur menggerung. Cinta benci langit tantrum. Usahanya berdamai lewat rapalan zikir, sampai kering mulutnya, belum sanggup menenangkan langit.

Selimut ia naikan, makin merapatkan diri di sudut ranjang. Memeluk lutut, melebur bersama kengerian gempuran jutaan kubik hujan yang menghantam atap, jalanan, bahkan dahan di luar sana.

Tangan sejak tadi sudah siap sedia di telinga, memblokir bunyi ledakan demi ledakan.

Hingga puncaknya, listrik padam. Cinta menjadi kalap.

Bergeser ke kamar lain. Habis mengecek pekerjaan, tidur ternyata tidak menyenyakan Adrian. Gelegar petir makin menggandakan gelisahnya.

Dia pun ambil wudu. Menggelar sajadah. Melaksanakan ibadah qiyamul lail. Menumpahkan semua gundah pada sujudnya. Berlanjut wirid hanya sebentar, sebab lampu tiba-tiba padam. Zahra yang ia pikirkan pertama kali, khawatir anaknya ketakutan dengan amukan alam.

Setelah membereskan alat salat, dengan bantuan sambaran kilat tak lebih sekedip mata, ia menemukan ponselnya di nakas lantas mengaktifkan senter. Mengungkit pintu, bergegas ia menyeberangi koridor, tetapi suara barang berkelontangan menghentikan langkah buru-burunya.

Makhluk halus? Walau bukan pertama kali Adrian melihatnya, dan ia sama sekali tidak takut. Namun bukan itu yang pertama melintas, justru maling. Ia membelokkan arah tujuan, setengah berlari menuruni tangga.

Sumbernya ia yakini dapur. Diarahkannya sorot senter pada lantai dapur yang bertebaran pecahan teko kaca dan benda lainnya.

Adrian berjingkat waspada. Ia mengambil pisau, mengarahkan cahaya pada setiap sudut ruangan tersebut. Hingga ia menemukan jari-jari kaki dan darah ... di bawah meja makan.

Genggaman pisaunya ia pererat. Jongkok perlahan, balapan dengan adrenalinnya. Hingga embusan kasar menormalkan jantung. Tebakan Adrian salah.

"Cinta? Apa yang kamu lakukan di sana?"

Cinta tidak menjawab, tidak pula mengubah posisi kepala yang tenggelam di antara lutut, sementara tangan menutup rapat telinga. Tremor hebat.

Adrian kebingungan. Ia mematikan senter, beralih pada cahaya layar ponselnya supaya tidak terlalu silau.

"Kakimu terluka. Keluar dari sana!" Ia perlu berteriak lebih keras lagi bersaing dengan suara guntur yang makin mencamuk.

Peringatan kedua tidak terjadi apa-apa. Adrian kehilangan sabar. Diguncangnya lengan Cinta yang terselubung selimut. "Keluar sekarang, atau saya paksa kamu keluar dari sana."

Pergerakan gadis itu menambah kerutan di kening Adrian. Sebab, tiba-tiba meraung-raung histeris. Menggeser tubuh serampangan makin menjauhi Adrian. Hingga menabrak kaki kursi.

"Ci-Cinta mo-mohon ... ja-jangan bunuh ...." Lalu pecahlah tangis.

Adrian berharap Cinta cuma bercanda, tapi setelah diamati betul-betul tidak ada kepura-puraan di wajah ketakutan itu. Singkirkan dulu pertanyaan ala wartawan, yang harus ia lakukan adalah menarik gadis itu keluar dari sana. Namun pertama-tama, ia perlu menenangkan gadis itu dulu.

Lalu dibuangnya pisau, yang menjadi ancaman bagi Cinta. "Cinta, lihat saya. Saya Adrian. Tidak ada yang akan membunuhmu."

Awalnya Cinta masih menjerit, tetapi ketika mata mereka bertemu. Kepanikan mereda. Mata bulat itu mulai fokus dan mematri pada obsidan Adrian.

"Ada saya, semua akan baik-baik saja. Saya jamin."

"O-om," rintih Cinta. "Pe-petir." Lalu beringsut mendekati Adrian. Menjadikan bahunya sandaran keningnya. Menangis lebih kencang lagi.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang