23

8.4K 546 30
                                    

Rp. 10.000.000,00.

Cinta harus memastikan matanya tidak pecak dengan mengucek mata. Semenit mematung hanya untuk menghitung nol  berjumlah tujuh, yang nolnya tidak satupun menggelinding. Utuh setelah puluhan kali pengecekan.

Bukankah seharusnya Cinta mendapatkan seperempat gaji saja seperti yang Adrian katakan? Kenapa pria itu mentransfer penuh gajinya di awal muka? Tidak mungkinkan Adrian yang salah?

"Yang di dalam cepet keluar, elah! Lama bener, sih!"

Kemarahan di luar memburu Cinta untuk segera menarik uang tunai setengah dari saldo. Begitu mesin memuntahkan kartu atm-nya dan struk, Cinta menyambar dua benda itu dan melesat keluar bilik ATM kampus tanpa tengok empat mata angin.

Cinta telah menciptakan ular antrian yang meliuk dan ia tak peduli pada wajah-wajah bengis itu. Terlalu gembira mendekap lima juta di dalam tas ranselnya yang seumur-umur baru kali ini Cinta merasa kaya raya.

Ia sudah menyusun to do list dengan menggunakan uang itu, yaitu pertama membayar utang, membeli kebutuhan pribadi, menepati janji membelikan bantal anime untuk Juna dan terakhir hadiah untuk pasukan gundul sebagai bentuk permintaan maaf karena tak lagi ikut mengamen.

Perlu Cinta waspadai, ia terus bergerak untuk menghindari kejaran pertanyaan Gia di luar kelas. Seperti belut, ia juga lihai menghindari orang-orang yang berpotensi nyinyir kepadanya. Terutama Naomi dan Axel. Dua nama di daftar paling ia hindari.

Pasca mata kuliahnya selesai, ia segera enyah dari pelataran kampus. Melanglang mencari toko elektronik. Pasukan gundul yang namanya terbolak-balik karena identik, susah dibedakan. Meski sudah dua hari mengenal. Namun satu yang bisa membedakan, kesukaan mereka berbeda.

Iman suka mendengar musik. Amin suka membaca.

Dibelilah radio mini murah dan beberapa buku cerita.

Cinta yakin hadiah kecilnya mampu membuat mereka berkaca-kaca.

Benar saja, kehadirannya disambut langkah tergesa mereka. Nyaris tersaruk kaki sendiri.

Sejengkal mereka sampai, tubuh ramping Cinta ditubruk kanan kiri. Tubuhnya oleng. Untung tidak terperenyak.

"Kakak ke mana aja, sih. Kenapa gak ngamen lagi?!" Amin atau Iman merengek kesal.

"Maaf, ya. Kak Cinta udah dapet kerja. Gak bisa nemenin kalian lagi. Tapi nanti  kakak usahakan bertemu kalian kalau sempat."

Matahari tepat segaris dengan ubun-ubun. Waktunya mengaso. Diajaklah mereka berdua makan siang. Mereka sendiri yang memilih atas suruhan Cinta.

Maka berakhirlah mereka di restoran pinggir jalan yang lama diidam-idamkan. Sebuah restoran yang pelatarannya banyak mobil-mobil. Terlalu mewah bagi kantong duo cilik itu dan untuk pengalaman pertama kaki dekil mereka menjamah tempat itu.

Bau gulai mendesak mulut memproduksi lebih banyak liur, keroncong perut kempis mereka. Tak lagi sabar menyecap kenyang.

Cinta memilihkan meja dekat pintu masuk. Seorang pramusaji mendekat dengan selembar menu laminating. Diserahkannya pada Cinta. Agak sinis melihat dua anak kumal duduk di kursi bersih. Di antara pelanggan wangi dan licin cuma mereka anomali yang merusak pemandangan.

Berputar-putar kepala mereka, menelisik setiap area asing di mata mereka, tanpa peduli eksistensi mereka tidak disambut ramah.

"Dua porsi besar gulai kambing. Tiga porsi nasi. Nasinya dibanyakin. Satu porsi ayam bakar. Minumnya es kelapa muda tiga." Cinta menyebut satu-satu.

Ia mendongak dan menemukan ketidakramahan singgah di wajah wanita muda itu. "Kami juga bayar di sini, jadi layanilah kami sebagaimana pelanggan lain."

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang