36

8.4K 541 56
                                    

Aku masih ingat betul upacara perpisahan terakhir dengan jasad kakek dan nenek sebelum mereka benar-benar disambut liang tanah. Dia datang sendirian. Sebagai anak semata wayang yang masih punya kepedulian, tentulah merayakan perpisahan orang tua untuk terakhir kali adalah bakti seorang anak.

Kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Membuatku yang kala itu duduk di bangku tiga SMP bertanya-tanya. Menangiskah dia di balik kacamata itu? Aku penasaran.

Sejak kecil aku tidak pernah betul-betul mengenal sosoknya. Hanya lewat fotonya dan cerita-cerita yang didongengkan kakek nenek. Itu pun aku yang memaksa. Jika tidak, percayalah mereka selamanya akan bungkam dan membiarkan aku buta tentang siapa orang tuaku.

Lima belas tahun usiaku sudah cukup mampu memahami pikiran orang dewasa, bahkan perkara salah benar. Bahwa sikap dinginnya kepadaku yang notabene anak kandung adalah salah.

Namun, aku mencoba untuk tidak membencinya. Menempatkan diri di posisinya dan memahami menjadi aib keluarga bukanlah keinginannya. Memang siapa, sih yang mau diperkosa.

Dan betapa beratnya ia mengandungku di usia masih sangat belia—tujuh belas tahun—dalam ikatan pernikahan yang seumur jagung. Di saat gadis seusianya mengejar mimpi dan menikmati masa remaja, ia justru tersiksa oleh tudingan buruk para tetangga.

Wajar apabila ia hendak menyingkirkanku sejak dalam perut, tapi segala usahanya tidak berhasil saat kakek dan nenek memohon untuk mempertahankanku.

Lalu sebuah perjanjian tak tertulis disepakati. Ia yang membuatnya. Akan mempertahankanku, asal keinginannya pergi dari rumah, melupakan aku, melupakan catatan hitamnya disetujui.

Bagi kakek dan nenek menyelamatkanku jauh lebih penting ketimbang mencegahnya pergi.

Setelah lima belas tahun berlalu, momen krusial itu jadi ajang pertama kali kami saling bertatap muka.

Pasca upacara pemakaman, tanpa membuka kacamata--padahal aku ingin melihat matanya langsung dan membandingkannya dengan milikku apakah memang mirip seperti di foto--untuk pertama kalinya pula ia berbicara padaku di rumah yang aku dan nenek kakek tinggali setelah pindah dari kota kelahiran.

Bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diceritakan. Aku memang menangis ketika itu, tapi bukan menangisi keberadaannya, melainkan kepada kedua pahlawanku yang telah berkalang tanah.

Rindukah? Kalau boleh jujur, sulit. Sulit merindukan seseorang yang tidak pernah menorehkan kenangan indah, kalau bertemu saja baru sekali itu.

Tanpa pelukan, bahkan ucapan rindu saja terlalu muluk. Aku pun tidak mengharapkan pertemuan menjadi dramatis dalam tangis haru. Diam, memperhatikannya, tidak punya inisiatif untuk memanggilnya ibu. Rasanya kelu lidah memanggil seseorang yang tidak pernah memiliki peran ibu di kehidupanku.

Tidak ada pembicaraan basa-basi, ia langsung memberiku buku tabungan, ATM dan nomor pin. Menjelaskan akan mentransfer sejumlah uang dengan sangat cepat dan sistematis. Aku hanya bengong dan menganggap ia berbicara cepat karena tidak ingin lebih lama melihatku.

Tidak luput juga soal acara tahlilan tujuh hari sampai empat puluh hari, biaya ia yang tanggung dan tetangga yang akan atur segalanya. Aku cuma terima beres saja.

Pertemuan itu jadi terakhir kali  aku melihatnya. Tidak tahu kabarnya. Tidak berniat juga untuk cari tahu. Jika bukan transferannya yang rutin, barangkali sudah kuanggap ia sudah tertelan bumi.

Aku pun berhenti memikirkannya. Lantas melanjutkan hidup di panti asuhan. Bertahan hidup dengan sisa harta kakek dan nenek serta kiriman uangnya.

Hingga kini aku sudah bisa dan terbiasa menikmati hidup sendirian, tanpa perlu khawatir masalah menghancurkanku.

Sampai sebuah pesan darinya datang beberapa waktu lalu mengantarkanku ke hadapannya, ke sebuah restoran dekat kampus dalam sebuah pertemuan asing nan beku.

Anehnya pertemuan ketiga ini efeknya tidak mengejutkan di pertemuan kedua yang kebetulan. Aku sudah menebak pengajian di rumah Tante Halimah bakal membawa kabar buruk dan aku sudah mempersiapkan hati untuk kabar buruk yang ia bawa.

Baru sedetik pantat beradaptasi dengan kursi, ia sudah mengangsurkan sebuah amplop coklat besar. Yang kulihat sudah ada di sana saat kedatanganku.

Lewat kedikan dagu, kode supaya aku memeriksanya, aku pun melakukannya.

Aku tertegun dengan isinya, sebelum akhirnya menatapnya meminta penjelasan dengan kesal. "Apa maksud semua ini?"

"Kamu tahu maksud amplop itu," katanya dingin.

Aku membuang pandangan ke samping, membuang dengusan panjang dan menyeringai ironi.

Surat pengunduran diri dan permohonan kepindahan kampus. Tiket pesawat. Surat kepindahan domisili. Cek seratus juta. Serta tetek bengek yang muak aku sebutkan. Sudah cukup menegaskan niatnya membuangku lagi. Lebih jauh. Tak tanggung-tanggung, Kalimantan.

"Saya sudah urus semuanya. Dalam seminggu, kamu harus keluar dari rumah Adrian."

"Kenapa tidak buang aku ke Zimbabwe sekalian, atau paling gampang bunuh aku lagi, jadi Ibu tidak perlu repot begini mengurusi ini itu."

Ibu? Sebenarnya, semua badanku merinding dan bibir malas memanggilnya ibu.

"Jaga bicaramu!" Tidak ada kacamata yang menghalangi, sehingga aku bisa melihat matanya yang indah menyalakan api amarah. "Sudah bagus saya peduli, kamu malah kurang ajar begini?! Tidak tahu diuntung!"

"Peduli?" Aku tertawa pelan. "Kalau Ibu peduli seharusnya bukan begini caranya, tapi dengan cara membahagiakanku. Kujamin, aku tidak akan pernah sekalipun kurang ajar seperti tadi."

Dia bungkam. Wajah ayunya tanpa kerut, tampak masih muda, hasil perawatan mahal, memerah menahan luapan amarah yang siap dimuntahkan. Andai hubungan kami baik, dengan bangga akan kupamerkan ke seluruh dunia. Ini ibuku, lho, paling cantik di dunia ini!

Sayangnya dia ibuku, dengan perlakuannya yang bertolak belakang dengan ibu pada umumnya kepada anak kandung, tidak memberiku alasan untuk tetap menaruh hormat kepadanya.

"Apa salahku? Aku tidak minta dilahirkan, aku tidak minta hidup, tapi kenapa ibu mencampakkanku?" tuntutku.

"Aku juga tidak minta melahirkanmu!" Segala emosi ia tumpahkan pada jawabannya.

Aku tidak akan menangis untuk dia yang tidak pantas untuk kutangisi. Tidak akan pernah!

Masih dengan ekspresi biasa aku tersenyum, tapi aku curiga bibirku yang bergetar dan pelupuk memanas, tidak bertahan lama bakal meluluh lantakan sikap santaiku.

"Salahmu adalah kehadiranmu merenggut kebahagiaanku."

Kejujurannya sudah cukup memberi tahuku alasan ia sangat membenciku.

"Hanya Aisyah yang pantas memiliki Adrian. Sementara kamu cuma sebuah kesalahan yang selamanya akan jadi kesalahan." Ultimatumnya, sebelum akhirnya ia mengangkat tas jinjingnya yang bermerek, kutaksir seharga ratusan juta. Begitu pula segala pakaian agamisnya yang mewah membalut, menggesek sisi meja saat ia bangkit.

"Satu minggu," peringatnya. "Kamu harus sudah keluar dari rumah Adrian, atau aku yang akan memaksamu dengan segala cara," pungkasnya, setelah itu sol sepatunya yang tinggi, melangkah.

"Bukankah tidak adil ...," lirihku. Ujung mataku menemukan ia berhenti tepat di sisiku. Aku melanjutkan bicara. "Lebih mencintai anak tiri ketimbang anak kandung sendiri."

Aku menjilat bibir sepintas. Mengorek sisa kekuatan terakhir. "Bukankah tidak ada anak haram, meski terlahir dari kesalahan yang hina. Setiap bayi terlahir bersih dari dosa, tapi mengapa Ibu seolah melimpahkan semua dosa kepadaku? Aku ... aku bahkan tidak tahu apa-apa." Bibirku makin bergetar.

Dia tidak mengatakan apa pun, pergi seakan sudah mati hati nuraninya. Bersamaan kepergiannya, aku mengumpat keras.

"SIALAN!" Mengundang banyak pasang mata, melirik acuh tak acuh.

Air mata sialan! Dia tidak pantas ditangisi, tapi mengapa kamu mengingkari kata-katamu, Cinta.

______

Selamat menunaikan ibadah puasa, kawan-kawan.




Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang