59

3.8K 257 19
                                    

Di saat semua keluarga satu per satu pulang kembali ke daerah masing-masing mengingat pekerjaan dan kesibukan lain, hanya Nenek Karmila yang bertahan. Setidaknya beban tekanan terhadap Cinta berkurang. Walau pandangan sinis dan sikap tak bersahabat tampil di tiap lipatan kulit yang mengendur di wajah Nenek Karmila, Cinta anggap itu bukan masalah. Justru Cinta anggap Nenek tua itu mirip mantan ibu kosnya dahulu. Barangkali nenek tua itu tetap tinggal karena belum puas menjadikan Cinta pelampiasan emosinya.

"Nenek! Mau ke mana?" Cinta berlari bersiaga di samping wanita tua itu ketika hendak berdiri.

"Saya mau ke taman belakang. Bosan. Mau baca buku di sana."

"Cinta bantu!"

Nenek Karmila tidak menyukai semangat Cinta yang terlalu berlebihan. Mirip perempuan tak tahu tata Krama. "Wanita harus anggun, Cinta. Kamu memang masih sangat muda, tapi kamu sudah menjadi istri sekarang."

"Cinta akan belajar." Meski perempuan itu bertingkah menahan semangatnya menjadi kalem ketika membimbing Nenek Karmila menuju taman belakang, Nenek Karmila tetap saja tidak menyukainya.

Sampai di taman belakang, Cinta bantu Nenek Karmila duduk di kursi dengan meja bundar bercat putih. Tanpa kata, Cinta berlari ke dalam mengambilkan selimut. Ia kembali membentangkan selimut abu-abu itu di pangkuan Nenek. Ia juga membawakan poci dan cangkir, menuangkan teh yang Cinta racik sendiri. Meski harus berkali-kali kena revisi karena masalah takaran gula yang tak sesuai kadar kebutuhan Nenek Karmila yang memiliki riwayat diabetes. Akhirnya Cinta bisa duduk anteng di samping Nenek Karmila yang menikmati teh, sambil membaca buku adalah kombinasi yang pas untuk mencari ketenangan yang biasa ia lakukan di rumahnya sendiri.

Selama setengah jam, Cinta cuma menopang dagu menatap tanpa bosan pada Nenek Karmila yang sedikit-sedikit melirik ke arah Cinta lewat bawah kacamatanya. Rasanya seperti diawasi dan Nenek Karmila menjadi tidak nyaman.

"Kenapa menatap saya segitunya? Tidakkah kamu punya kegiatan lain?"

Cinta spontan menggeleng. "Cinta sedang membaca pikiran Nenek."

Tawa mengejek muncul di sudut bibir keriput itu. "Untuk apa? Membuang waktu saja."

Cinta lagi-lagi menggeleng. "Gak, Nek. Cinta gak tahu apa yang bikin nenek senang dengan kehadiran Cinta. Jadi Cinta sedang berusaha mencarinya sendiri."

Nenek Karmila menutup bukunya sepenuhnya menaruh atensi pada Cinta. "Saya tidak menyukai kamu. Jadi, percuma saja kamu mencari cara untuk membuat saya menyukaimu."

Cinta mengerutkan bibir. "Nenek harus jadi neneknya Cinta! Karena Cinta menyukai nenek!" Dan secara mengejutkan, Cinta menggelayuti lengan Nenek Karmila.

Nenek itu pasrah saja dan hanya menghela napas. Kembali melanjutkan bacaan dengan posisi Cinta menjatuhkan kepala di pundak Nenek Karmila.

"Cinta imut lho! Banyak yang suka sama Cinta." Fakta sebenarnya bohong besar. "Cinta juga pintar dan suka anak-anak. Bisa masak juga, buktinya nenek menyukai puding buatan Cinta." 

"Saya suka pudingmu. Hanya itu. Lainnya tidak suka."

"Beneran?!" Cinta sangat senang dengan pengakuan Nenek Karmila meski hal itu disampaikan dengan ketus.

"Sudah saya bilang! Saya tidak suka sikap berlebihan kamu!" Nenek Karmila berusaha mengibaskan lengannya agar lepas dari tempelan Cinta. Tetap saja cinta budek pada peringatan itu dan sepanjang hari itu ia terus saja menempel pada Nenek Karmila. Sementara Zahra harus puas dikesampingkan dan hanya mendapatkan secuil perhatian. Mojok di sudut lain dengan pandangan iri, akhirnya terpaksa main ke tempat Daniel daripada sendirian.

Malam merangkak naik, Nenek Karmila memiliki jam tidur sehabis salat isya. Jadi, wanita itu sudah di kamar dibantu Cinta menata ranjang. Menutup gorden, juga beberes barang. Ia juga yang membantu nenek menyiapkan obat dan air putih serta memijit kakinya yang terkadang bengkak.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang