Horison disepuh senja. Jalan-jalan. Pohon. Tiang-tiang. Gedung-gedung pencakar langit dan jendela besar ruangan lantai dua puluh, tempat Adrian berkutat pada pekerjaan, tak luput disiram oranye.
Cahayanya membias ruangan luas tersebut. Menyadarkan Adrian bahwa Magrib sebentar lagi akan bertemu. Perlahan dilahap malam dan lampu-lampu mulai dinyalakan.
Adrian merapikan berkas pada folder dan menutup laptop lantas menjejalkannya ke tas kantornya. Bertepatan dengan itu dua daun pintu ruangannya terbuka, memperlihatkan beruang besar coklat melayang.
Cukup memberikan efek kejut bagi Adrian. Di balik beruang coklat itu, Reza memiringkan kepala. Terkekeh bersalah sambil menggaruk-garuk tengkuk.
"Maaf, Pak mengangetkan Anda."
Adrian menarik satu napas panjang. "Itu hadiah yang kamu pilih untuk Zahra?"
Reza mengangguk. "Bagaimana, Pak. Kira-kira Nona Zahra bakalan suka apa tidak?"
"Zahra akan menyukainya. Terima kasih, Reza. Saya akan pulang sekarang."
"Biar saya bawakan ke mobil."
"Tidak usah, saya akan membawanya sendiri. Ayo, kita magriban bersama di mushola."
Beruang di tangan Reza berpindah tangan. Adrian membawanya keluar. Mereka berdua beriring menaiki lift khusus direksi untuk sampai di lobi. Mushola sendiri terpisah, bersebelahan dengan kafetaria bagi pegawai kantor.
Beberapa pegawai yang lembur atau baru saja menyelesaikan pekerjaan, memilih beribadah di kantor untuk menghindari kehabisan waktu di jalan.
Anggukan segan dan sapa ramah Adrian dapatkan saat kaki telanjangnya menyentuh keramik dingin tempat berwudhu. Ia balas mengangguk dan tersenyum ringan.
Adalah sebuah kehormatan bagi mereka diimami langsung oleh orang nomor satu di perusahaan manufaktur terbesar di Indonesia saat itu. Sekaligus sosok yang begitu karismatik yang tiga bulan berturut-turut berada di peringkat pertama menurut majalah pria terkemuka, sebagai pria yang tak hanya sukses di usia muda sebagai direktur utama, juga pria yang paling diincar wanita single melalui voting medsos. Meski duda, tidak mengurangi pesona Adrian untuk menarik lebah betina untuk sedikit mencecap madunya. Namun itu tidak mudah bagi Adrian yang sudah mematikan hati bertahun-tahun lamanya.
Kalau tidak diberitahu, ia tidak akan tahu ada gelar itu disematkan untuknya. Bahkan jika Adrian disuruh berpendapat, ia tidak akan peduli.
"Jadi, siapa yang akan menjadi imam?" Adrian menawarkan kepada beberapa karyawan yang sudah mengisi saf.
"Bapak Adrian saja." Tidak ada yang mau jika yang mereka inginkan menjadi makmum Adrian.
***
Jam-jam segini, jalan protokol pasti memadat oleh kendaraan-kendaraan sepulang kerja. Padahal Adrian ingin segera sampai rumah untuk bisa tepat waktu makan malam bersama dengan Zahra. Semoga boneka beruang besar coklat yang duduk di jok belakang menjadi permintaan maaf tepat atas keterlambatannya.
Ia harus puas berjibaku dengan lampu merah yang setiap angka merahnya serasa semenit sendiri.
Untuk membunuh bosan, ia mencuri lirik ke luar bingkai mobil. Melodi musik dari ukulele dan kecrekan nyaring mengiringi sopran seorang gadis.
Pemandangan pengamen cilik sudah mendarah daging di segelintir lampu merah, bukan lagi istimewa. Namun kali ini agak menarik dengan adanya seorang gadis remaja yang berpakaian lebih baik dari duo cilik kumal, ikut mengamen dengan suaranya terbilang merdu.
Dari satu kendaraan ke kendaraan lain dari depan dengan lagu sama. Balonku ada lima.
Hingga Adrian dapat mengenali parasnya saat ketiganya mendekati mobilnya lewat bantuan lampu jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Om Duda
RomanceCinta Azalea, gadis 18 tahun miskin yang butuh pekerjaan. Annisa Azahra, anak 6 tahun yang membutuhkan sosok Bunda. Muhammad Adrian, Duda 30 tahun yang tidak berniat beristri lagi karena masih mencintai mendiang istri. Bagaimana kisah mereka dalam...