[30] Bocah yang Nyaris Terbunuh
"Kak Cinta ke mana aja, sih? Kenapa baru pulang sekarang?" Zahra menghadangku di ambang pintu, langsung menggandengku masuk tanpa memberiku kesempatan menjelaskan alasan keterlambatanku yaitu gonta-ganti angkot dan mengetem lama. Hingga petang baru pulang.
"Zahra mau kenalin Kakak sama Om Dika."
Om Dika siapa? Pertanyaan sederhanaku terjawab oleh sosok asing yang sedang menonton layar teve LCD. Langsung menengok saat Zahra berseru, "Om, ini Kak Cinta. Bakalan jadi bunda baru buat Zahra, lho."
"Kak, ini Omnya Zahra. Namanya Om Dika."
Masih muda. Berbadan biasa-biasa saja. Barangkali seumuran denganku. Tampang lumayan ganteng, tetapi masih gantengan Om Duda. Mengeksploitasiku dengan tatapan tajamnya. Entah apa yang ia pikirkan tentangku, aku tidak peduli arti penilaiannya tidak lebih dari merendahkan.
Dia tidak mengulurkan tangan, tidak juga mengatakan sesuatu, pertanda enggan mengenalku.
"Senang bertemu denganmu." Meski ia tidak menyambut baik, bukan berarti aku harus bersikap tidak ramah.
Balasan dari senyum manisku justru seringai, sesuatu yang ganjil di pertemuan pertama kali.
"Ambilkan gue minuman!"
Ini orang roman-romannya bakal bawa kesengsaraan buatku.
"Itu apa?" tunjukku pada segelas teh di hadapannya.
"Gue pengin softdrink. Ambilkan."
"Kenapa diam? Lo pembantu di sini, kan? Ambilkan cepat!" sambungnya semena-mena.
"Maaf-maaf, nih. Fyi, Cinta bukan pembantu, tapi pengasuh Zahra."
"Kerja di rumah ini, kan? Apa bedanya sama pembantu."
Bukan tidak sopan menolak diperintah, masalahnya badanku letih. Terutama kaki. Butuh selonjor. Denyut perihnya sudah tak tertahankan lagi. Berdiri saja tidak betah.
"Tapi-"
"Gak ada tapi-tapian!" potongnya cepat.
Sabar Cinta. Orang sabar, pantatnya besar. Eh, maksudnya pahalanya yang besar.
Terpaksa mengayun kaki, meski terseret-seret menuju dapur. Sengaja dilama-lamakan mengambil sekaleng cola, biar si songong itu tahu rasanya kesal yang kurasakan.
Benar saja, saat aku kembali wajahnya berkali lipat enek dipandang.
"Cepetan!" serunya melihatku yang sengaja berjalan lambat.
"Nih." Kuletakkan minuman bersoda itu kasar di meja.
"Yang sopan! Pembantu belagu!"
Aku mengembangkan paru-paru, mengisinya banyak-banyak kesabaran. "Mas, maaf-maaf, ya. Koreksi kalau salah. Mas bukan yang gaji Cinta. Jadi, Mas gak usah belagu sok jadi majikan. Lagi pula kaki Cinta lagi sakit. LAGI SAKIT! Nih, lihat." Kuangkat kakiku. Sejajar mukanya. "Diperban. Kena beling. Nah, kalau Mas masih punya rasa kemanusiaan, alangkah baiknya Mas izinkan Cinta ke kamar."
"Lo-"
"Sssssshhh ...." Giliran aku memotong ucapannya, lengkap telunjuk menempel bibir, memintanya diam. "Cinta capek, mau istirahat. Mau mandi juga. Kalau minta apa-apa sama Bi Sum, Bi Lastri, Pak Rahman sama Pak Dodi aja. Permisi."
Kutinggalkan ia dengan rahang jatuh. Tadi itu benar-benar enggak sopan. Kaki diangkat, ya ampun. Namun mau bagaimana lagi, kalau sudah badan lelah, menahan perih, sabar pun jadi menipis.
Pintu kamar baru saja kuungkit, tahu-tahu seseorang mendorongku. Aku terpojok di antara tembok dan tubuh menjulang yang baru saja mengajak perang mulut. Menghimpitku tanpa memberiku celah bergerak bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Om Duda
RomanceCinta Azalea, gadis 18 tahun miskin yang butuh pekerjaan. Annisa Azahra, anak 6 tahun yang membutuhkan sosok Bunda. Muhammad Adrian, Duda 30 tahun yang tidak berniat beristri lagi karena masih mencintai mendiang istri. Bagaimana kisah mereka dalam...