22

8.7K 568 6
                                    


"Pak, Cinta cantik, gak?"

Gerakan menyabuni bodi mobil terhenti, Pak Dodi menatap Cinta yang sedang berjongkok membuat busa-busa putih di tangannya. Lalu membuat gelembung lewat tiupan mulut.

"Perempuan ya cantik, atuh Neng."

Jawaban standar. Cinta tidak puas.

"Cantikan siapa, Cinta atau mbak Aisyah?"

Rahang Pak Dodi mau copot, saking kagetnya pertanyaan itu ditodongkan kepada pria yang sudah mau uzur.

"Neng, Bapak sudah tua gak pantes digoda daun muda. Neng cari yang seusia Neng Cinta lah, masak Bapak yang bau tanah ini."

Sekarang Cinta yang tercengang. Tawanya meledak. Terpingkal-pingkal. Berair matanya.

"Aduh, Pak. Cinta cuma minta pendapat dari sudut pandang bapak sebagai lelaki. Bukan mau menggoda bapak!"

Bibir keriput itu melengkungkan senyum kebapakan. "Bapak bercanda, Neng. Tahu Neng Cinta gak menggoda Bapak. Biar Neng bisa ketawa saja, dari tadi cemberut terus. Ada apa, sih?"

"Mbak Asyiah itu akrab, ya sama keluarga ini."

"Neng Aisyah itu sahabat karib Almarhumah dan Neng Afi. Ke mana-mana gak terpisahkan sewaktu kuliah dulu. Satu pesantren pula. Sering main kadang menginap. Kebiasaan itu juga yang membuat Mas Adrian meminang Almarhumah. Dulu bapak kira Mas bakalan sama Neng Aisyah karena dibandingkan dengan Neng Aira yang pemalu, Neng Aisyah lebih akrab dengan Mas Adrian karena sifatnya yang mudah bergaul pada siapa saja. Setelah Neng Aira wafat, mereka sempat dijodohkan, tapi mengingat Neng Aisyah sekolah lagi ambil spesialis, perjodohan dibatalkan."

"Jadi, saingan Cinta bertambah lagi. Tapi tetap yang lebih berat Mbak Aira, sih."

Ibarat gelembung kedua yang sedang Cinta tiup, pecah sebelum mengudara. Seperti itulah cinta Cinta. Baru mulai kembang, sudah langsung terbunuh. Pembunuhnya tentu saja Adrian dan ekspektasinya sendiri.

Ekspektasi dapat menaklukkan gunung es bernama Adrian ternyata tidak semudah membalik tangan. Hati Adrian sudah terjerat dan dibawa lari ke dalam liang mendiang istrinya. Belum lagi wanita lain yang sudah lebih dulu hadir. Cinta dengan segala kurangnya tidak akan mampu sejajar dengan kehebatan Aisyah dengan segala sepak terjangnya.

Pak Dodi kembali menghentikan sapuan lapnya pada bamper. "Eh, kenapa tanya-tanya aneh begitu? Jangan bilang Neng menyukai Mas Adrian, ya?"

Cinta nyengir. "Siapa yang tidak menyukai pria tampan, mapan dan fisik sempurna. Wanita normal pasti menyukai Om Duda."

"Jangan deh, Neng."

"Kenapa?" Cinta menghentikan meniup-niup busa.

"Nanti yang sakit Neng sendiri. Neng baik, cantik, muda, kejar mimpi saja dulu daripada mengejar yang tak pasti. Nanti Allah yang akan menunjukan jalan jodoh, Neng."

"Bagaimana kalau jodoh Cinta di rumah ini? Dan dia adalah Om Duda? Bukankah tidak ada yang kebetulan di dunia ini melainkan semata-mata kehendak Allah?"

Bermula dari sepotong humburger, Cinta dilarung ke kejadian yang mengejutkan, beruntun. Hingga ia bisa tinggal di rumah megah ini menjadi pengasuh Zahra. Bukankah semua itu ada campur tangan Tuhan?

"Memang betul. Alam semesta dengan seisinya adalah kehendak Allah. Tidak mungkin bumi ini bisa berputar, matahari terbit di Timur dan terjadi gerhana bulan, kalau bukan kehendak Allah. Bahkan daun saja sudah ditentukan kapan waktunya gugur, apalagi takdir kita manusia."

"Jadi, berdoalah, Neng. Doa adalah jembatan penghubung interaksi makhluk dengan Penciptanya. Komunikasi paling efektif dan termudah. Allah senang dengan hamba-Nya yang banyak meminta kepada-Nya dan menjadikan-Nya pelarian. Siapa tahu mustahil jadi kenyataan."

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang