14

9.4K 625 24
                                    

Cinta kecil-aku sebut begitu untuk memulai kisah. Sepuluh tahun usianya kala itu, 4 SD. Hanya tahu rasa gula itu manis. Jatuh itu sakit. Dijauhi teman itu tidak menyenangkan dan memiliki orang tua berpisah itu menyedihkan.

Cinta kecil, sepulang sekolah, selalu berlari ke luar rumah dalam keadaan saku gembung. Penuh permen asam dua-duanya. Otak naifnya mendoktrin, bahwa benda manis kecut itu bakalan menarik bocah seusianya untuk mau diajak main. Sebab mulut mereka menyukai makanan kecil itu yang akan meledakkan rasa jika diemut, disesap. Lantas timbul ringis-ringis kecil sepanjang garis mata.

Saku gembungnya, ia bawa lari ke tanah lapang nan gersang. Di mana banyak anak sekelasnya, maupun beda usia, bermain apa saja. Gundu, lompat tali, sepak bola, permainan tradisional lainnya. Berharap sekian dari mereka mengizinkan Cinta bergabung dengan sogokan kecil di saku.

"Cinta boleh ikut main?!"

Karet jepang berhenti berputar. Bocah laki-laki di tengah-tengah berhenti melompat. Dua perempuan memegang dua ujung karet menatap risi. Pun juga barisan kelompok kecil yang mengantre siap melompat, menggeser matanya pada gangguan kecil yang tidak diharapkan.

Bagai mikroba, sepuluh anak kembali menaruh atensi pada perputaran karet. Cinta kecil dianggap tak kasatmata.

Tidak menyerah. Masih dengan senyum harap-harap, Cinta mengeluarkan sogokan dari dua saku celana pendek. Segenggam permen asam. Menunjukkannya pada mereka.

"Ini. Cinta bawain permen asem buat kalian, tapi Cinta boleh ikut main, ya?"

Bocah laki-laki berpipi bakpau gosong kebanyakan terpanggang matahari, berbadan bantat, mendekat. "Kami gak mau temenan sama kamu yang gak punya orang tua."

"Cinta punya."

"Mana? Kamu tinggal cuma sama kakek nenekmu aja! Orang tuamu kabur sama selingkuhannya." Bocah bantat itu menjarah permen Cinta. Di tangan. Di saku. Lantas membaginya ke teman-temannya.

"Mereka nggak selingkuh!" Cinta kecil sebetulnya tak tahu selingkuh itu apa. Sering ia tangkap kata itu dari kanan-kiri tetangganya yang bergunjing di balik gerobak sayur pagi-pagi buta saat hendak berangkat sekolah. Yang pasti terdengar buruk sekali. Cinta kecil tidak suka, tapi tidak bisa melakukan apa-apa selain diam, mendengar, meresapi dan mencari makna sesungguhnya di laci-laci kecil otaknya.

"Mereka selingkuh!" Agung-bocah bantat itu mencibir dan tertawa-tawa dengan bibir pecah-pecah. Kembali ke kelompoknya, menyuruh gengnya melanjutkan permainan dan mengabaikan Cinta.

Cinta merangsek. Semangat yang ia bawa dari rumah ludes. Berganti campuran ego seorang anak kecil yang inginnya tak kesampaian. Merebut permen asamnya yang setengah jalan masuk mulut gua besar Agung.

"Mana permennya?! Balikin kalau Cinta gak boleh main!"

Permen tak berhasil tergenggam, tergelincir mencium tanah kemarau.

Wajah bulat gosong itu makin gosong oleh beringas. Agung mendorong Cinta. Praktis tubuh kerempeng nan kecil Cinta mental. Bernasib sama dengan permen menyedihkan tadi.

"Heh, anak haram! Anak Zina! Orang tua selingkuh! Kamu gak pantes main sama kita. Pantasnya kamu mati! Mati!"

Aku kecil kala itu, sungguh tidak mengenal baik buruk. Apa pun sebab akibat pun tidak paham betul. Bahkan aku bertaruh orang dewasa sekalipun berada di posisiku jika harga diri dihina, akal sehat mendadak soak. Pasti melawan. Pakai kekerasan akal pendek.

Seperti itulah Cinta kecil. Amarah melipatgandakan energi. Mengubah sosok lemah menjadi mesin pembunuh.

Tubuh kecil nan kerempeng disulap bak generator menghasilkan kekuatan besar mampu menggulingkan dua kali tenaganya hanya sekali tendang.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang