18

9.1K 564 19
                                    

Hari berikutnya, masih pada pukul tujuh malam yang sama, Adrian pulang. Lagi-lagi menemukan kekacauan.

Dengan dua bocah kerdil dikejar satu gadis remaja.

Zahra dan Daniel menyebar kalang kabut ke segala arah, menghindari tangkapan Cinta yang matanya tertutupi selendang. Meraba-raba udara sambil berteriak, "awas, ya kalau ketangkap, kakak pukul pantat kalian!"

Adrian memaku di ambang pintu menyaksikan pemandangan itu, belum ada tanda-tanda akan membubarkan permainan.

Sampai Zahra menjadikan punggung Adrian tempat persembunyian. Teriakan antusias dan adrenalin Zahra memancarkan radar yang ditangkap Cinta sebagai sinyal dan ia berjalan mengikuti insting ke arah yang ia yakini Zahra ada di sana.

"Zahra, nyerah sekarang aja, percuma sembunyi. Kakak bakalan tangkap Zahra!"

Hap!

Cinta kegirangan ia mendapatkan buruannya dalam pelukan. Ada yang aneh sedang coba Cinta telaah. Tubuh Zahra harusnya kecil, tetapi kenapa lengannya tidak cukup mendekap penuh tubuh besar ini. Besar!

"Lepaskan tanganmu, Cinta!"

Vokal husky yang segitu beratnya adalah alarm bahaya yang segera Cinta patuhi.

Selendang penutup matanya ia lepas, dan keganjilan yang ia pikirkan benar-benar nyata. Ternyata yang ia peluk tubuh besar Adrian.

Bisa dibilang ketidaksengajaan yang membawa berkah. Cinta akhirnya tidak penasaran lagi bagaimana rasa dari memeluk Adrian walau sebentar. Namun membekas hangat. Efeknya lebih dahsyat dari gempa bumi. Jantungnya tsunami.

"Apa peringatan saya tidak cukup membuat kamu kapok? Apa perlu saya potong gaji kamu supaya kamu paham peringatan saya tidak main-main?!" Tidak cukup tubuhnya menegang, wajah pun bersimbah kaku. Adrian betul-betul marah dengan perilaku Cinta kepadanya barusan.

"Pak Rahman, Pak Dodi, Bi Sum dan Bi Lastri tidak terlibat. Hanya kami bertiga yang bermain seharian. Cinta cukup sadar diri untuk tidak lagi mengajak mereka karena mereka sudah tidak muda lagi," elak Cinta sambil tertawa untuk ucapan Adrian yang tidak ada letak lucunya. Rupanya kemarahan Adrian tidak cukup mempan mempengaruhi sikap santai Cinta.

Justru tawanya untuk merayakan keberuntungannya memeluk Adrian yang efeknya bakal bikin gadis itu dimabuk kepayang berhari-hari.

Adrian terlalu lelah untuk memperpanjang sesi debat kusir.

"Daniel." Adrian memanggil bocah laki-laki itu dan ia mendekat.

"Om, boleh, ya makan malam di sini? Niel bosan makan di rumah!"

"Ya, boleh. Setelah itu pulang, ya. Mainnya dilanjutkan besok lagi. Zahra, ajak Daniel ke meja makan."

Zahra mengangguk. Mereka berdua bergandengan tangan menuju meja makan.

Sementara tinggal Adrian dan Cinta yang tersisa. Pria itu menakar apa yang sedang gadis itu pikirkan sampai cengengesan menyeramkan begitu. Tidak meleset lagi, insiden pelukan tadi ditanggapi berlebihan oleh gadis itu.

"Saya sudah memperingatimu sejak awal untuk berhenti memendam ketertarikan pada saya. Saya tidak suka kesepakatan dilanggar."

"Perasaan adalah anugerah. Mengapa diingkari? Tidak satu pun orang yang bisa mencegahnya. Kenapa Om seenaknya menyetir perasaan Cinta?"

Jakun Adrian menelan gusar. Menantang mata Cinta yang memancar keberanian.

"Kenapa? Om takut jatuh cinta pada Cinta?" Sudut bibir kecil itu menarik ke atas amat percaya diri.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang