41

7.8K 582 151
                                    

Agak aneh keesokan paginya, ketika Adrian merasa rumahnya terlalu sepi. Tidak ada suara-suara dari mulut paling ribut di rumah itu. Kendati awal Cinta tinggal, memang paling akhir bangun, tapi setelahnya ia yang paling rajin bangun pagi, bahkan sebelum subuh. Hanya untuk mengintip di balik kusen di bawah tangga. Mengawasi langkah Adrian turun untuk berjamaah di masjid komplek.

Namun, kali ini absen.

Tanya besar menggantung dan jawabannya datang bersamaan tergopoh-gopohnya Bi Sum menghampiri Adrian yang baru pulang dari masjid. Di tangannya ada selembar kertas sobekan dan sepasang giwang yang diserahkan langsung ke Adrian tanpa ucap.

Tulisan di kertas tersebut menyakini Adrian alasan Bi Sum bersimbah air mata.

Jangan cari Cinta. Soalnya Cinta gak mau dicari. Makasih, Om udah menerima Cinta, tapi Cinta gak punya keberanian lebih untuk melanjutkan hubungan ini, jadi maaf :(

Untuk Zahra, Cinta juga minta maaf udah jadi orang jahat meninggalkannya begitu saja. Cinta harap Om dan Zahra bisa hidup baik seperti saat Cinta belum masuk ke rumah ini.

"Bibi menemukan surat itu bersama giwang di kasur. Selain itu, barang-barang Neng Cinta tidak ada. Mas, Neng Cinta pergi."

Kertas itu lecek sekali remas. Saking tidak percaya dengan kenyataan di depan mata, Adrian sampai bingung melampiaskan puncak amarahnya dengan cara apa kalau bukan meremas kertas.

Dengan sisa akal sehat yang masih bisa Adrian pertahankan mati-matian. Ia meminta Pak Rahman untuk mengecek komputer yang terkoneksikan dengan seluruh cctv rumah itu dan melihat siluet Cinta melewati cctv pintu belakang menjijing kopernya dan memanggul ransel pelan-pelan, hingga berhasil membuka gerbang tanpa sedikitpun ketahuan. Namun, sebelum itu masih sempat-sempatnya gadis itu melambai ke kamera.

Tertera waktu kejadian jam dua pagi. Saat semua tertidur lelap kekenyangan karena pesta dan itu jadi alasan mengapa Pak Dodi tidak tergugah ketika suara mengerit gerbang dibuka Cinta. Padahal selama ia bekerja di rumah itu, suara sekecil apapun tidak pernah lewat begitu saja dari telinganya. Pria tua itu berkali-kali minta maaf dengan wajah penuh penyesalan. Adrian hanya diam tidak menanggapi saat pikirannya ruwet oleh kenekatan Cinta yang sama sekali di luar prediksi.

Agung yang berdiri di belakang mereka juga diam. Menontoni display itu dengan napas sesak. Tidak menyangka, gadis itu menyerah.

Buntut dari kaburnya Cinta datang. Mata bulat Zahra berdenyar bingung saat semua orang berkumpul dan terlihat berwajah keruh. Sosok Cinta yang dicarinya tidak ada diantaranya. Bocah sekecil itu menangkap kejanggalan telah terjadi sesuatu. Bahkan sudah menduganya sejak Cinta tidak menerobos kamarnya pagi ini dan membangunkannya secara paksa seperti kala biasa.

"Mana Kak Cinta?"

Pertanyaan sederhana Zahra, tidak mendapat jawaban dari siapapun. Bagaimana pertanyaan itu bisa terjawab, jika mereka saja tidak tega membuat Zahra sedih.

Pertanyaan itu kembali didesakkan secara keras. "Mana Kak Cinta, Yah!"

Adrian langsung menggendong Zahra. Ia membawanya ke atas. "Hari ini ayah yang mandikan, ya."

"Enggak mau! Mana Kak Cinta!"

Meronta, memukul, reaksi Zahra tatkala dirinya tidak mendapat jawaban. Tangan sekecil itu tidak berpengaruh banyak pada dada Adrian, justru tangis Zahralah yang menggoreskan lebih banyak luka pada Adrian. Di pertengahan tangga, pria itu berhenti menatap buah hatinya gugu.

"Kak Cinta pergi," ucapnya susah payah.

***

Zahra menolak sekolah, bahkan makan. Sehari setelahnya, Adrian absen kerja. Mengurus Zahra yang mengurung di kamar. Bujuk rayu mental dari telinga Zahra. Semua orang membujuk, pun tiada guna. Menangis saja seharian suntuk di ranjangnya bergelung selimut, makin mengiris perasaan Adrian.

Pencarian Cinta mengandalkan kamera cctv dan tanya beberapa tetangga adakah yang melihat Cinta siapa tahu di jam segitu satu dua orang melihat, nihil ternyata. Rian, satpam sebelah saja meminta maaf berulang kali atas ketidakwaspadaannya sampai dimarahi Kakek Hartono habis-habisan.

Bertanya pada Gia dan Juna harapan tersisa, pun sia-sia. Berjanji mereka bakal bantu sekuat tenaga untuk mencari keberadaan Cinta jadi akhir konversasi di telepon. Adrian ditenggelamkan ke jurang keputusasaan makin dalam.

Lusanya, hari yang jadi jadwal tes kesehatan, kacau balau. Kabar itu  akhirnya sampai ke telinga Halimah saat wanita itu kebetulan mampir dan melihat sendiri keadaan cucunya tergolek lemas di ranjangnya.

"Kenapa kamu tidak memberitahu ibu, Adrian?!" Halimah luar biasa marah dan memeluk cucunya dengan perasaan sedih.

Adrian tidak menyangkal, meski punya alasan bahwa ia tidak memberitahu keluarganya, terkhusus ibunya, karena pikirannya dipenuhi Cinta dan Zahra saja.

Melihat Adrian yang berpenampilan berantakan dengan cambang yang dibiarkan meliar, berkantong mata hitam dan baju lusuh, Halimah sadar putranya tidak lebih baik, ikut terpukul atas kepergian Cinta. Berhenti memarahi Adrian, fokusnya berganti pada Zahra yang masih saja sesenggukan, tak keluar air mata lantaran telah terkuras di hari sebelumnya.

"Zahra sayang, makan, ya?"

"Gak mau! Maunya Kak Cinta, Nek!"

Baik Halimah maupun Adrian baru menyadari bahwa pengaruh Cinta begitu besar terhadap Zahra. Halimah tidak marah gadis itu pergi, hanya saja kecewa dan mempertanyakan tanggung jawab Cinta bakal menjaga Zahra seperti yang pernah dibilangnya sendiri ternyata bualan belaka.

Halimah menarik napas dalam. "Ayah pasti akan menemukan Kak Cinta dan membawanya pulang. Kak Cinta pasti akan sedih jika tahu Zahra tidak mau makan."

Habis sudah tenaga Zahra, tersisa untuk gelengan lemah menyedihkan saja. "Kak Cin—ta per—gi kare—na Zahra, kan Nek?" terbata-bata ia kesulitan.

"Enggak, sayang. Bukan salah Zahra."

"Kak Cinta per—gi kare—na enggak mau ja—di bun—danya Zahra."

Hati siapa di ruangan itu yang tidak menangis melihat ratapan Zahra menyalahkan diri sendiri, walau bukan salah gadis cilik itu sepenuhnya.

"Bukan itu alasan Kak Cinta pergi."

"Apa?"

"Kak Cinta ...." Halimah menggantung kalimatnya dan melempar tatap pada Adrian, seolah meminta bantuan.

"Zahra, ayah yang salah." Gadis cilik itu dengan mata basah menangkap sorot penyesalan pada ayahnya.

"Ayah ja—hat."






Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang