35

8.6K 502 32
                                    

Sesuatu yang berlebihan memang enggak baik. Sama halnya dengan terlalu percaya diri.

Aku harus puas ditertawakan Afifah dan membiarkan dirinya di atas angin.

Kampret!

Kenapa, sih Om Duda cuma melirik doang dengan muka datar? Padahal aku sudah tampil cantik, anggun, lemah gemulai bak putri solo. Berdiri menyambutnya di balik pintu lengkap senyum gula yang bikin setiap orang yang melihat diabetes.

Om Duda pengecualian. Parahnya lagi ia sempat tidak mengenaliku dengan pertanyaan. "Siapa kamu?"

Kujawablah. "Cinta!" Pakai merengek segala.

Mulutnya membulat. "Oh." Sebentar.

"Kenapa Om enggak terpesona melihat Cinta!?" protesku.

Alisnya mengerut bingung, lantas memandang adiknya yang cekikikan. Sama herannya kenapa tiba-tiba adiknya mendadak gila?

"Kenapa kamu ketawa?" tanyanya kepada Afifah.

"Dia mengajakku bertaruh, kalau penampilannya bisa membuat Mas terpesona, aku harus berhenti melihatnya sebelah mata. Dan ... haha ...! Dia kalah. Aduh! Sepertinya aku tidak bisa berhenti tertawa. Lihat wajah yang percaya diri itu tadi berubah kecewa berat. Jelek sekali. Haha ...."

Asem! Adik ipar sialan.

"Sudah jangan ditertawakan calon kakak iparmu. Sekarang siap-siap kita berjamaah." Untunglah Tante Halimah membelaku.

Aku memeletkan lidah. Calon kakak ipar yang disebutkan Tante Halimah seakan ketuk palu, sudah tidak bisa lagi diganggu gugat oleh siapa pun. Menegaskan bahwa aku di rumah ini sudah direstui. Giliran aku kali ini yang di atas angin. Melirik Afifah angkuh.

Ia mendengkus sepintas. Sebelum akhirnya pergi menidurkan dua bayinya-Izzam dan Azzam-yang ada di troli ke kamar.

Kemudian menyusul Tante Halimah. Tinggal aku dengan Om Duda berduaan. Aku hendak meninggalkannya, tapi suara husky-nya menghentikan kaki.

"Ada apa dengan wajahmu?"

Aku menggerutu. "Tidak lihat, Cinta kalah taruhan!" sengakku. "Sudah tahu, masih saja tanya!"

"Itu salahmu sendiri mengapa bikin taruhan." Ia bersedekap sok tidak merasa punya salah apa-apa.

"Ini salah Om. Kenapa tidak terpesona? Kan Cinta jadi kalah taruhan. Cinta jadi enggak punya harga diri lagi di depan adik Om!"

"Lalu saya harus bagaimana?"

"Hibur kek pakai gombalan. Bapak kamu tukang cendol, ya? Iya, kok tahu. Karena kamu manis kayak gula merah. Gitu, kek!"

Pria itu malah geleng-geleng kepala. Kupikir ia bakal meninggalkanku tanpa menenangkan hati yang terlanjur kesal ini, nyatanya ia berhenti sejenak dan mengatakan kata-kata yang nyaris membuat jantung melompat dari tempat semayam.

"Seperti fajar, keindahannya hanya bisa dimiliki subuh. Seperti itulah kamu yang hanya bisa kumiliki setelah halal."

Belum cukup membuat jantung menggelepar, tangannya yang besar nangkring sebentar di kepalaku dalam sekali tepukan. Lalu meninggalkanku yang sudah kena ayan.

Untung ingat tempat, jadi aku bisa kontrol histeris secepatnya sebelum orang rumah menganggapku gila dan membatalkan restu.

Azan dan ikamah dilantunkan. Para makmum segera merapatkan barisan.

Jantung rentan menggila saat tahu Om Duda menjadi imam. Aku khawatir Tuhan tidak menerima salatku ketika pikiranku justru khusyuk mengagumi bacaan salatnya yang merdu menggetarkan jiwa.

Cinta Om DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang