2. Week days

4.9K 400 19
                                    

Jaemin memarkirkan motornya di driveway. Ia lalu melepas helm bogo hitam-cokelatnya serta membuka jaket dan baju seragamnya yang penuh dengan noda cokelat, kemudian meletakkan keduanya begitu saja di lantai.

Jangan tanyakan keberadaan tasnya. Jaemin jarang membawa tasnya ke sekolah. Ia lebih suka meninggalkan semua bukunya di loker. Lebih efisien dan praktis. Lalu, belajarnya bagaimana?

Jaemin hanya belajar ketika di sekolah. Saat di rumah, ia akan berleha-leha atau membantu orangtuanya. Untuk tugas sendiri, Jaemin akan mengerjakannya sepulang sekolah di perpustakaan. Itu pun hanya ketika ia kerasukan Renjun atau terpengaruh hasutan Mark.

Jaemin berkaca di spion motornya. "Ganteng bener." Ia mengedipkan sebelah matanya, lalu menyengir lebar.

Siapapun yang melihat penampilannya saat ini, pasti tidak akan setuju dengan ucapannya barusan yang kelewat percaya diri. Rambut hitamnya terlihat seperti rambut gimbal. Lumpur kering yang membuatnya terlihat seperti itu. Tidak hanya di rambut, lumpur kering lain juga memberikan corak-corak abstrak di celana dan seragam sekolahnya.

Intinya, Jaemin terlihat seperti gelandangan.

Jaemin meletakkan helm-nya di rak garasi lalu mengeluarkan selang dan menghidupkan keran air. Ia sempat melirik jam dinding yang ada di garasi; sudah jam 6 dan tidak ada mobil sang ibu di sana, hanya mobil ayahnya saja. Ibunya pasti belum pulang kerja. Helaan napas lega pun keluar dari mulutnya.

"Kurang ajar. Bebek gue sampe kelihatan kampungan gini!" Gerutu Jaemin saat ia melihat vespa kesayangannya berlumuran lumpur di mana-mana.

Jaemin pun menyirami si 'bebek', dimulai dari kap depannya. Mulutnya berkomat-kamit seperti seorang dukun. Faktanya, ia sedang menyanyikan lagu kpop yang akhir-akhir ini terngiang-ngiang di kepalanya.

90's Love.

"Jung Jaemin! Jangan main air!"

Mata Jaemin membola, kepalanya menoleh ke arah rumah dengan begitu cepat. Dengan tergesa-gesa Jaemin melempar selang itu lalu berlari ke rumah sebelah untuk bersembunyi dari amukan ibunya.

"Apa-apaan?! Ibuk kok udah di rumah sih?!" Desisnya. Ia merasa jengkel. Ia merasa ditipu. Tidak ada mobil sang ibu di garasi, yang artinya sang ibu seharusnya belum pulang.

Kedua mata Jaemin semakin membesar saat ia melihat seragamnya yang ketinggalan di sana; terekspos begitu saja di alam terbuka, dan memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk melihatnya. Jaemin tidak peduli jika orang-orang melihatnya. Namun, ia peduli jika sang ibu yang melihatnya.

Jaemin sudah bergerak untuk mengambil bajunya. Namun ibunya keburu muncul duluan dari pintu samping, terlihat menyeramkan seperti biasanya, ditambah lagi dengan wajahnya yang tertutupi oleh masker putih.

Tingkat keseramannya meningkat berkali-kali lipat.

Sang ibu mematikan air keran sambil mendumel. Matanya melirik ke sekitar rumah dengan tajam, mencari anak satu-satunya yang bersembunyi entah di mana. "Dasar anak laki! Udah gede bukannya berenti main air! Gak tau apa harga air mahal?!"

Jaemin meringis mendengar omelan ibunya yang terlalu kuat. "Bu, Jaemin cuma mau nyuci si bebek . . ." Bisiknya pelan.

Di lingkungan tempatnya tinggal, jika ibunya mengomel dengan intonasi normal, suaranya tersebut bisa terdengar sampai rumah tetangganya di kanan dan kiri. Dan jika intonasinya naik dua oktaf saja, pasti akan kedengaran sampai rumah pak RT di ujung sana.

"Jung Jaemin! Kamu apakan seragammu ini?!" Jaemin meringis. "Ayah! Ayah! Liat kelakuan anakmu! Aish! Tensiku bisa naik kalo tiap hari kaya gini!"

Jaemin menggigiti kukunya. "Hiks. Maapin Jaemin, bu . . ." Bisiknya lagi.

Blooming Days || NOMIN ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang